Mohon tunggu...
Dimas Dharma Setiawan
Dimas Dharma Setiawan Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Penulis Artikel di Banten

Penulis adalah PK pada Bapas Kelas II Serang yang menerjunkan diri pada alam literasi. Senang menyikapi persoalan yang sedang hangat di masyarakat menjadi kumpulan argumentasi yang faktual , kritis dan solutif. Berusaha meyakinkan bahwa menulis sebagai hal yang menyenangkan. Setiap tulisan adalah do'a dan setiap do'a memuluskan tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kesaktian TAP MPRS XXV Tahun 1966

1 Oktober 2020   07:18 Diperbarui: 1 Oktober 2020   09:42 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada tahun 1913 seorang warga Belanda yang sudah terpapar paham komunisme bernama Henk Sneevliet masuk ke Hindia Belanda. Ia bersama dengan seorang koleganya yang bernama Adlo Baars mendirikan sebuah organisasi masyarakat bernama Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV). Semula organisasi tersebut muncul hanya sebatas sebuah wadah pemikiran saja, lambat laun mereka menunjukan jati dirinya sebagai kelompok berpaham komunisme.

ISDV melakukan serangkaian propaganda kepada penduduk pribumi menularkan paham mereka hingga banyak rakyat yang terhasut. Setelah kekuatan massa semakin tumbuh pada tahun 1917 para ideolog komunis dalam negeri cukup percaya diri mendirikan sebuah partai bernama Partai Komunis di Hindia (PKH).

Sejumlah tokoh komunisme Indonesia melakukan pendalaman ajaran marxisme dan leninisme ke negara komunis Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina. Kemudian mereka kembali ke tanah air untuk melakukan propaganda yang lebih masif. Sikap perlawanan mereka terhadap pemerintah kolonial tidak murni untuk meraih kemerdekaan Indonesia melainkan hanya sebatas sikap anti imperiliasme dan kolonialisme. Mereka juga melakukan serangan terhadap kaum intelektual pribumi baik dengan kekerasan dan pemikiran.

Pada tahun 1924 PKH melakukan kongres untuk kesekian kalinya mengajak kaum Proletar (Petani dan Buruh) sebagai unsur kekuatan dalam perjuangan organisasi mendeklarasikan sebuah Partai Komunis Indonesia (PKI).  Eksistensi mereka sempat meredup setelah pemerintah Kolonial Belanda menjadikan mereka sebagai organisasi terlarang di Hindia Belanda.

Pasca kemerdekaan Indonesia, PKI kembali muncul. Pada tahun 1948 sejumlah tokoh PKI seperti Muso, Njoto, DN Aidit dan Amir Syarifudin di depan para pendukungnya berpidato bahwa mereka mendeklarasikan diri sebagai jalan baru untuk Indonesia dimana pentingnya berdiri sebuah negara bernama Republik Indonesia Soviet. Sikap tersebut di kecam oleh Pemerintah Indonesia sebagai sikap kudeta karena bermaksud mendirikan negara di dalam negara. PKI melakukan perlawanan bersama dengan Front Demokrasi Rakyat (FDR), PKI melakukan pemberontakan di Madiun.

Dari tahun ke tahun PKI semakin tumbuh, pada tahun 1955 PKI mengikuti Pemilihan Umum (Pemilu) dan celakanya mereka mendapatkan ranking ke-empat dalam perolehan suara atau mendapatkan sebanyak 39 kursi parlemen dari 256 kursi yang diperebutkan. Keberadaan PKI di parlemen semakin memberikan ruang bagi organisasi tersebut untuk melakukan propaganda.

Pada tahun 1962 DN Aidit dan Njoto disebut menjadi Menteri dalam kabinet Soekarno. PKI tidak menunjukan tekad baik dalam pemerintahan, mereka hanya memikirkan memperkuat organisasi yang dibuktikan dengan mengusulkan angkatan ke-lima sebagai simbol mempersenjatai kaum petani dan buruh. Maksudnya tidak lain sebagai pasukan pemberontak melawan militer Indonesia.

Pada tahun 1965 terjadi sebuah gerakan biadab atau lebih terkenal dengan Gerakan 30 September (G30S/PKI atau Gestapu) dimana PKI melakukan penculikan terhadap enam orang Jendral dari kesatuan Angkatan Darat yakni Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal Suprapto, Mayor Jenderal Haryono, Mayor Jenderal S.Parman, Mayor Jenderal D.I Panjaitan dan Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo. 

Selain itu terbunuh juga dua perwira menengah dari  kesatuan Angkatan Darat bernama Kolonel Katamso selaku Komandan Korem Yogyakarta dan Lelkol Sugiyono selaku Kepala Staf Korem Yogyakarta. Serta terbunuh satu orang bintara Polisi bernama Karel Silsuit Tubun yang saat itu sedang bertugas di rumah wakil perdana menteri J Leimena. Dilakukan penumpasan terhadap petinggi dan antek-antek PKI disejumlah daerah.

Sejumlah kalangan menyebut peristiwa yang terjadi sebagai propaganda PKI, propaganda Soekarno, Propaganda C.I.A (Central Intelligency Agency) atau propaganda Soeharto. Sejak jaman orde lama, orde baru hingga era reformasi saat ini kontrofersi tuduhan tersebut masih berkelanjutan.

Pada tanggal 5 Juli 1966 dikeluarkan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) nomor XXV tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, pernyataan sebagai organisasi terlarang diseluruh wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.

Isi dari ketetapan itu adalah pasal 1 (satu) menyebutkan bahwa menerima baik dan menguatkan kebijaksanaan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, berupa pembubaran Partai Komunis Indonesia, termasuk semua bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai kedaerah beserta semua organisasi yang seazas/berlindung/bernaung dibawahnya dan pernyataan sebagai organisasi terlarang diseluruh wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia, yang dituangkan dalam Keputusannya tanggal 12 Maret 1966 No. 1/3/1966, dan meningkatkan kebijaksanaan tersebut diatas menjadi Ketetapan MPRS.

Selanjutnya pada Pasal 2 (dua) menyebutkan bahwa  setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta Media bagi penyebaran atau pengembangan faham atau ajaran tersebut, dilarang.

Pasal 3 (tiga) menyebutkan bahwa khususnya mengenai kegiatan mempelajari secara ilmiah, seperti pada Universitas-universitas, faham Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam rangka mengamankan Pancasila, dapat dilakukan secara terpimpin, dengan ketentuan, bahwa Pemerintah dan DPR-GR, diharuskan mengadakan perundang-undangan untuk pengamanan.

Hadirnya TAP MPRS tentang larangan PKI menjadi senjata bagi rezim orde baru untuk menutup sel-sel komunisme tumbuh di Indonesia. Sikap politik tersebut cukup manjur, tidak ada orang yang berani menampakan diri dalam gerakan terlarang. Masyarakat Indonesia menjalani kehidupan dengan aman dilindungi pemerintah.  

Tahun 1998 terjadi jatuhnya rezim orde baru. Ruang kebebasan berpendapat menyasar pada keberadaan TAP MPRS XXV tahun 1966 yang mulai di kritisi. Dengan segala argumentasi dan pemikiran sejumlah pihak berharap keberadaan ketetapan itu di tinjau ulang atau dicabut. Sebaliknya masih banyak pihak yang menginginkan ketetapan tersebut diberlakukan.

Pertentangan datang dari keturunan PKI yang beralasan ingin memperjuangkan pemulihan harkat dan martabat orang tuanya yang merasa di dzolimi oleh rezim orde baru. Selain itu pertentangan datang dari kalangan intelektual, mereka merasa ketetapan itu menutup ruang kebebasan berpikir dan bersikap yang membenarkan paham marxisme dan leninisme sebagai suatu ilmu pengetahuan yang wajar untuk didalami.

Sikap mereka yang menyetujui ketetapan tersebut layak diberlakukan tidak lain agar PKI gaya baru tidak tumbuh di bumi pertiwi. Jika PKI kembali tumbuh maka akan berpotensi menjadi suatu ancaman nyata terhadap Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Begitupun bagi kalangan intelektual religius yang berpegang teguh dengan ajaran ketuhanannya sangat tidak setuju dengan suatu paham yang tidak berketuhanan.

Paham komunisme yang menawarkan perjuangan rakyat melawan kapitalisme dan neo-kolonialisme sudah tidak dibutuhkan lagi. Indonesia sebagai negara hukum dan negara berkedaulatan memiliki Pancasila sebagai asas tunggal yang dirasa sangat mampu melawan arus globalisasi yang bercirikan kapitalisme dan neo-kolonialisme. 

Kontrol eksistensi bisnis asing di dalam negeri terus dilakukan. Bagi hasil keuntungan dan pajak yang dikutip untuk kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Segenap tumpah darah Indonesia sudah terlindungi oleh hukum dan aparaturnya. Masyarakat secara leluasa bisa berperan aktif dalam pemilihan umum. Kekuasaan sewaktu-waktu dapat di makzulkan oleh kekuatan politik dan ruang kebebasan berpendapat juga semakin tumbuh.

Penulis beranggapan kuat sejatinya Ketetapan MPRS nomor XXV tahun 1966 harus tetap ajeg berdiri kokoh sebagai sebuah pesan abadi dari para pendahulu terhadap kita sebagai ahli waris bangsa ini bahwa paham komunisme bercitra radikalisme sangat membahayakan apabila di amalkan di bumi Pancasila ini. (**)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun