Mohon tunggu...
Dimas Dharma Setiawan
Dimas Dharma Setiawan Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Penulis Artikel di Banten

Penulis adalah PK pada Bapas Kelas II Serang yang menerjunkan diri pada alam literasi. Senang menyikapi persoalan yang sedang hangat di masyarakat menjadi kumpulan argumentasi yang faktual , kritis dan solutif. Berusaha meyakinkan bahwa menulis sebagai hal yang menyenangkan. Setiap tulisan adalah do'a dan setiap do'a memuluskan tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pembimbing Kemasyarakatan Calon Gubernur?

19 September 2020   08:33 Diperbarui: 1 Oktober 2020   09:29 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) serentak tahun 2020 telah melewati tahap pendaftaran pasangan Bakal Calon (Balon) Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Kada/Wakada) pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) Propinsi/Kabupaten/Kota. Tahapan dilanjutkan dengan penetapan Balon Kada/Wakada menjadi Pasangan Calon (Paslon) Kada/Wakada. Sejak saat itu masyarakat sudah bisa mengenali para kontestan yang telah disyahkan tersebut untuk selanjutnya dipilih pada tanggal 9 Desember 2020.

Dari 270 daerah di seluruh Indonesia yang menyelenggarakan Pemilukada yang berjumlah 687 Paslon tidak ada satupun Paslon yang berlatarbelakang sebagai Pembimbing Kemasyarakatan (PK) maupun Asisten Pembimbing Kemasyarakatan (APK). Dengan demikian tulisan ini tidak mungkin mendukung Paslon yang berlatarbelakang PK/APK baik yang masih aktif maupun yang sudah purna tugas.

Penulis meyakini Paslon yang sudah terdaftar di KPU merupakan orang-orang pilihan, mulai dari politisi, akademisi, selebriti, tokoh masyarakat, pengusaha, mantan pejabat  hingga keluarga pejabat. Mereka memiliki sejumlah kompetensi yang mumpuni di bidangnya masing-masing. Adapun penulis membuat opini ini dalam rangka ingin turut mewarnai kehidupan literasi di media masa yang tema nya agar selalu segar dan terbarukan. Dalam kesempatan ini pemilihan tema dihubungkan dengan Pemilukada serentak tahun 2020.

Siapa PK ?

PK adalah warga negara Indonesia yang setia dan taat kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. PK harus berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) mengingat beban tugas PK yang berat, memegang rahasia negara dan rahasia kehidupan warga binaan pemasyarakatan (WBP) sebagai masyarakat seutuhnya sama dengan masyarakat umumnya yang tidak berhadapan dengan hukum.

PK harus bergelar sarjana atau diploma dengan alasan ia harus sudah memiliki kompetensi dasar sebelum menjabat dan diharapkan bisa menguasai serta mengamalkan segala disiplin ilmu pengetahuan.  Tidak sampai disitu sebelum mengemban jabatan PK, seseorang pegawai harus melalui pendidikan dan pelatihan dalam kurun waktu tidak kurang dari satu bulan. Di dalam asrama, otak PK digembleng agar menjadi aparatur yang tangguh di lapangan.

Pada dasarnya keberadaan PK sama dengan abdi negara lainnya ialah sebagai pelayan masyarakat atau melayani masyarakat. Namun masyarakat yang dimaksud dibatasi pada masyarakat yang sedang menjalani pemidanaan dan masyarakat yang sedang berhadapan dengan hukum pidana. Adapun masyarakat umum dilayani sesuai kebutuhannya oleh instansi pemerintah lainnya.

Sebagai negara hukum, pemerintah melindungi seluruh rakyatnya termasuk terhadap mereka yang sedang menjadi tersangka, terdakwa dan terpidana melalui aturan dan aparatur hukumnya di Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan. PK sebagai penegak hukum di bawah institusi Pemasyarakatan aktif memenuhi hak hukum kepada masyarakat yang sedang berhadapan dengan hukum dan yang sedang menjalani pemidanaan dalam bentuk kegiatan pendampingan, penelitian kemasyarakatan (Litmas), pembimbingan dan pengawasan. Tahapan tersebut dalam bahasa hukumnya disebut pra-ajudikasi, ajudikasi dan post-ajudikasi.

Apa tugas PK ?

Tugas PK berbeda dengan tugas yang di-emban oleh penegak hukum lainnya. Peraturan memerintahkan kepada PK agar pada saat mengentaskan suatu perkara jangan hanya melihat dari dimensi hukum saja, melainkan pendekatan segala disiplin ilmu (multidimensional approach). Hal ini memberikan pesan bahwa seorang pelaku tindak pidana sebagai manusia yang hidup berdampingan dengan banyak norma di masyarakat. Dengan demikian menilai perilaku seseorang secara luas sangatlah diperlukan demi pemulihan hidup, kehidupan dan penghidupan yang bersangkutan dalam jangka pendek dan jangka panjang.

Pendekatan pola asuh orang tua, tujuannya menelisik riwayat WBP dalam lingkungan keluarganya sejak ia dilahirkan, dibesarkan hingga situasi dan kondisi ia saat melakukan tindak pidana. Suka atau tidak suka keluarga menjadi pihak yang disorot. Penulis pernah menemukan suatu perilaku negatif seorang ayah yang menular kepada anaknya. Sang ayah menggunakan shabu-shabu, sang anak pun melakukan hal yang serupa. Keduanya harus berhadapan dengan hukum dan menjalani pemidanaan. Persitiwa tersebut jangan sampai terjadi lagi pada sosok ayah dan anak lainnya di Indonesia. Dengan demikian keluarga harus diajak bicara terkait pemulihan kehidupan WBP.

Selanjutnya pendekatan pendidikan, tujuannya mengukur aspek intelektual WBP. Terhadap WBP yang pernah menoreh prestasi selama ia belajar maka prestasinya tersebut sebagai potensi diri yang patut dikembangkan sebagai suatu hal yang menguntungkna bagi dirinya. Namun jika ia biasa-biasa saja maka harus diberikan penguatan peningkatan intelektual.

Bagi WBP yang putus sekolah dapat melanjutkan pendidikannya pada program paket belajar di sejumlah Lapas/LPKA tempat ia menjalani pemidanaan. Pendidikan harus di-entaskan meskipun ia sedang menjalani pemidanaan. Dengan demikian perlu ada  dukungan dari Pemerintah Daerah (Pemda) dalam suksesi penyelenggaraan program paket belajar yang diselenggarakan di dalam Lapas/LPKA.

Selanjutnya pendekatan sosial kemasyarakatan yang disorot ialah sikap WBP terhadap masyarakat ataupun sebaliknya sikap masyarakat terhadap yang bersangkutan pada waktu sebelum peristiwa tindak pidana terjadi dan setelah tindak pidana terjadi. Masyarakat dapat diposisikan sebagai saksi atas perilaku sehari-hari WBP di lingkungan sekitar. Masyarakat juga dapat diajak sebagai agen perubahan positip yang menguntungkan bagi keberlangsungan kehidupan WBP. Hal ini dapat diistilahkan dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat.

Kemudian pendekatan ekonomi diantara tujuannya untuk menelisik sebab musabab tindak pidana yang kemungkinan diakibatkan oleh faktor ekonomi,  Jika tindak pidana disebabkan oleh faktor tersebut maka yang bersangkutan perlu diberikan kegiatan keterampilan dengan harapan kedepan nanti dapat menjalankan usaha mandiri atau setidaknya sebagai bekal keterampilan saat bekerja.

Pendekatan pertemanan (peer-group) yang disorot tidak lain keberadaan teman yang memberikan pengaruh positif atau negatif terhadap yang bersangkutan. Teman yang pro-sosial didorong untuk turut ambil bagian dalam melakukan pemulihan perilaku WBP. Jika ada teman yang pro-kejahatan maka WBP harus diberikan pemahaman oleh PK agar menjauhi karakter teman yang seperi itu.

Melakukan pendekatan sebagaimana disebutkan diatas sejatinya bukanlah tindakan yang mudah. Latarbelakang WBP yang pernah melakukan tindak pidana dan menimbulkan kerugian pada orang lain atau melukai orang lain perlu kiat-kiat khusus cara mendekatinya agar PK selamat dalam bertugas, diterima masyarakat dan para pihak terkait.

Alat instrument yang digunakan untuk mengukur perilaku WBP ialah Litmas dan Asesmen. Hasil pengukuran perilaku menggunakan Instrumen tersebut adakala hasilnya tidak akurat. Bukan karena salah alat atau PK nya, melainkan WBPnya yang masih menyembunyikan kebenaran informasi yang diketahuinya atau cepatnya perubahan perilaku yang bersangkutan selama menjalani pemidanaan. Misalkan WBP perkara penipuan, ia acapkali masih menyangkal atas tindak pidana yang pernah dilakukannya, meskipun kebenaran perkaranya itu telah selesai diperiksa dan diadili di Pengadilan.    

Dimana PK bekerja ?

PK tidak banyak bekerja di balik meja, melainkan di luar kantor mendatangi WBP yang berada di Kantor Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lapas/Rutan/LPKA atau Lembaga Sosial lainnya. Selain mendatangi kantor mitra kerja, PK juga menyambangi kediaman WBP. Pekerjaan sangat ringan jika rumah yang bersangkutan berada didaerah perkotaan yang mudah di temui. Keadaan menyulitkan saat posisi rumah mereka berada di daerah terpencil, perbukitan atau di sebrang Sungai/Lautan. Panjangnya jarak tempuh, keadaan di lapangan dan lamanya waktu yang terkadang sampai malam hari menjadi saksi perjalanan tugas itu sendiri.

Sebut saja Joni Ihsan (41) kawan penulis yang berprofesi sebagai PK di Balai Pemasyarakatan Kelas I Palembang, dimana ia harus bersepeda-motor ditengah panasnya terik matahari atau derasnya hujan dari Kota Palembang menuju Kabupaten Musi Banyuasin, Kabupaten Banyuasin, Kabupaten Ogan Ilir, Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Kota Prabumulih dalam rangka menjalankan tugas.

Rahmadi (44) seorang PK pada Balai Pemasyarakatan Kelas I Palangka Raya Kalimantan Tengah, bercerita kepada penulis bahwa ia selalu menumpang sampan bermotor pada saat bertugas melayani masyarakat di daerah Kabupaten Kapuas. Derasnya sungai Kapuas dan minimnya kapal yang melintas tidak menjadi halangan untuk melakukan pengabdian.

Ali (36) seorang ayah dari dua orang anak yang berprofesi sebagai PK di Balai Pemasyarakatan Kelas II Serang berujar kepada penulis bahwa ia biasanya bersepeda-motor dari Kota Serang menuju ke Selatan Kabupaten Lebak seperti Panggarangan, Bayah, Cilograng dan lain-lain dengan tujuan melakukan wawancara terhadap keluarga/masyarakat/stake-holder dan observasi lingkungan terkait kehidupan WBP. Saat tiba ditempat tujuan Ali juga dituntut segera beradaptasi dengan lingkungan sekitar agar misinya mengumpulkan data dapat diperoleh dengan mudah.

Simpulan

Persamaan antara PK dan Gubernur, bahwa keberadaan PK sebagaimana disebutkan diatas adalah sebagai pelayan masyarakat, begitupun seorang Gubernur dipilih oleh masyarakat dan diamanatkan oleh Undang-Undang untuk mengabdi pada masyarakat. PK mendatangi masyarakat dalam rangka pembangunan sumber daya manusia, begitupun Gubernur mendatangi masyarakat dalam rangka pembangunan sumber daya manusia dan pembangunan infrastruktur. 

Perbedaannya, PK mendatangi masyarakat seorang diri, adapun Gubernur mendatangi masyarakat bersama dengan rombongan. PK mendekati masyarakat dengan cara mengendarai sepeda motor, sedangkan Gubernur duduk di dalam mobil mewah. PK merupakan jabatan karir sedangkan Gubernur merupakan jabatan politis.

Butuh waktu sampai puluhan tahun bagi seorang PK untuk mengumpulkan banyak uang apabila ia ingin mencalonkan diri sebagai Calon Gubernur. Gaji PK yang terbilang kecil sangat tipis kemungkinannya untuk sampai ikut pada kompetisi politik Pemilukada. Meskipun demikian jabatan mulia seorang PK dalam melayani masyarakat memiliki karakter yang sama dengan tugas seorang Gubernur yang juga melayani masyarakat. (**)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun