Saya tergelitik untuk menulis tentang topik ini. Mungkin saya perlu sampaikan di awal, saya bukan psikolog pendidikan atau pun psikolog anak, melainkan peneliti psikologi di bidang kognitif.Â
Hal-hal seputar kemampuan kognitif seperti multitasking, kontrol diri, bersikap impulsif, pengambilan keputusan dan sebagainya selalu menjadi gubahan yang mendayu-dayu sebagai penutup malam sebelum saya tertidur.Â
Tapi, yang terpenting dari semua itu, saya adalah seorang ayah dengan 1 orang anak berusia 2 tahun, jadi, mudah-mudahan tulisan ini bisa memberikan konteks cerita yang cukup representatif dan komprehensif.
Di usia tersebut, anak lagi sering-seringnya tantrum, yang seringkali memancing respon orangtua yang kadang kurang tepat. Contoh yang paling sering adalah orangtua jadi ikut-ikutan tantrum, tapi yang paling ekstrem justru ditinggal yang malah bikin anak makin tantrum.Â
Itu baru satu dari sekian banyak problematika yang terkadang bikin orangtua pusing dan mencari support group untuk sekadar sharing, yang tidak jarang mengarah pada saling membandingkan satu sama lain yang kemudian menciptakan iklim benchmarking yang cenderung tidak sehat. Contoh: "eh anak gw begini", "anak lu gimana", "ih kok anak lu gitu sih", "ih amit-amit" daaaan lain sebagainya.
Saya tidak akan membahas hal tersebut berkelanjutan, silakan jika memang diperlukan mengacu kepada psikolog anak atau keluarga karena itu memang area of expertise mereka.
Terlepas dari hal di atas, yang penting untuk ditekankan di sini adalah sikap kita untuk mulai membentuk sikap dan kebiasaan baik di masa depan anak yang penuh dengan ketidakpastian.Â
Uncertainty (ketidakpastian), sudah menjadi hal yang lumrah dalam kehidupan. Uncertainty di sini terkait dengan masa depan, sesuatu yang tidak pasti dan menimbulkan kecemasan dari semua sikap dan perilaku individu, pada dasarnya mencoba menurunkan kecemasan akan uncertainty (ketidakpastian) yang akan dihadapi di masa depan.Â
Uncertainty pun menjadi salah satu jawaban mengapa anak tantrum -- karena ia sedang galau akan ketidakpastian dan dia tidak tahu bagaimana mengatasinya (meeen, kita aja suka bingung kalo lagi galau bingung mau ngapain, apalagi bocah usia balita belum nyampek otaknya mikirin analisis SWOT (strength, weakness, opportunity, threat) makanya yang keluar adalah teriakan dan juga loncatan yang tidak jelas. Sudah banyak literatur yang membahas soal perilaku tersebut and that's commonly common di usia belia anak.
Kedua skills (keahlian) yang akan saya bahas di bawah ini bisa membantu mereka menghadapi uncertainty dalam hidup. Kedua skills ini juga menjadi fondasi anak dalam perjalanannya menjadi seorang learner (pembelajar) di periode golden age-nya (sekitar usia SD sampai awal SMP) dan menjadi bekal dalam menjalani kehidupan yang makin penuh dengan uncertainty di masa remaja dan dewasa. Berikut saya bahas satu per satu.