Mohon tunggu...
Dimas Budi Prasetyo
Dimas Budi Prasetyo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen dan konsultan

Praktisi di bidang marketing research dan dosen psikologi. https://dimasbepe.wordpress.com/who-am-i/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mana yang Harus Diubah, Mental atau Aturan?

10 April 2019   11:01 Diperbarui: 13 April 2019   06:34 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah kita melihat plang atau spanduk yang bertuliskan "Dilarang Membuang Sampah Sembarangan", atau yang lagi jadi isu saat ini: memilah-milah jenis sampah di dustbin yang berbeda-beda. Tetapi pada kenyataannya sampah masih saja suka bercampur. Atau, yang lagi nge-hits sekarang yaitu menggunakan less plastic dan sebisa mungkin menerapkan zero waste dalam perilaku sehari-hari. Tetapi ketika pergi ke pasar tetap saja ditawari oleh penjual (bahkan kadang dipaksa dengan alasan estetika). Hal serupa juga sering ditemui dalam kebiasaan sehari-hari seperti perilaku enggan mengantre, melawan arah untuk pengendara kendaraan bermotor, dan lain sebagainya.

Sekilas hal pertama yang diulas biasanya berkaitan dengan aturan, kebijakan pemerintah, larangan, imbauan dan sebagainya (dalam artikel ini selanjutnya dibahasakan dengan aturan). Sebelum ke sana, saya akan bahas dari sudut pandang individu yang berada dalam konteks aturan terlebih dahulu, khususnya aspek kognitif.

Begini ceritanya.

Secara makna kognitif adalah proses berpikir, juga terkait dengan problem solving yang dilakukan sebagai produk akhir dari proses berpikir tersebut. Proses kognitif menitikberatkan bagaimana pikiran/mental bekerja, even dalam konteks se-simple ketika individu ingin membuang sampah lalu di situ terdapat tulisan 'dilarang membuang sampah di sini'. Dalam konteks ini ia tidak langsung membuang sampah di tempat tersebut (perkara jadi buang atau tidaknya merupakan hasil dari proses kognitif).

Menariknya, negara dunia ketiga (Indonesia salah satunya) menjadi tempat yang "subur" di mana permasalahan tersebut sering muncul. Selain karena masalah populasi yang relatif lebih padat dibandingkan negara maju. Masyarakat di negara ini punya isu dalam hal kemampuan kognisi yang diindikasikan oleh sepinya partisipasi dalam mengenyam pendidikan. Selain itu, masyarakat ini juga masih dipusingkan dengan hal-hal yang bersifat fundamental seperti penghasilan, pekerjaan, kesehatan, dan lain sebagainya.

Nah, lalu bagaimana mereka ketika dihadapkan oleh aturan?

Aturan dibuat secara logis dan rasional, dengan harapan bahwa ia pun juga akan dipersepsi dan direspons secara logis dan rasional. Oleh siapa? Tentu saja manusia. Dalam kondisi optimal, rasionalitas manusia akan bekerja maksimal (yang kemudian dikenal dengan istilah bounded rationality); namun dalam kondisi limited resource tentunya tidak. Ini menandakan bahwa manusia tidak stable dan reliable ketika mengambil sebuah sikap dan keputusan -- yang membuat cognitive bias pun terjadi.

Berbicara mengenai kognisi juga berbicara mengenai working memory. Stimulus atau tugas yang kompleks akan membuat working memory bekerja secara keras, menyisakan sedikit kapasitas yang tersisa untuk memproses stimulus yang lain. Seperti lamanya loading sebuah PC untuk membuka sebuah program ketika kapasitas RAM-nya terpakai maksimal untuk proses video rendering. Di sini, working memory bisa diibaratkan bekerja seperti RAM (Random-Access Memory) sebuah perangkat komputer. Dengan angle yang sama, kapasitas kognitif seseorang akan banyak terpakai ketika menghadapi persoalan berat. Cognitive overload (definisi mengenai istilah ini bisa sedikit di kroscek di sini) akan terjadi dalam kondisi ini ketika ia dihadapkan dengan permasalahan lain, memberikan kesempatan pada cognitive bias untuk mengambil alih kendali pengambilan keputusan.

Saya pernah membahas sedikit mengenai cognitive bias di artikel sebelumnya dan di laman blog pribadi saya. Dalam cognitive bias, dikenal istilah automatic system dan reflective system. Bila kita kaitkan dengan pembahasan di atas, cognitive overload  terjadi ketika proses kognitif terlalu banyak melibatkan reflective system yang effortful (semakin effortful, semakin banyak kapasitas kognitif yang diperlukan). Dalam konteks kasus artikel ini, kapasitas kognitif masyarakat banyak terpakai untuk berpikir mengenai hal yang bersifat fundamental daripada untuk mematuhi aturan yang sifatnya tidak instant, tidak memberikan direct benefit bagi mereka.

Jadi, dari sini bisa disimpulkan masyarakat ini punya dua cognitive issues: (1) lack of cognition skill (sebagai dampak kurangnya partisipasi mengenyam pendidikan) dan (2) cognitive overload untuk permasalahan fundamental sehari-hari.

Nah, kalau begitu dalam membuat suatu aturan seyogyanya jangan melibatkan reflective system. Kasihan, otak sudah capek; sebaiknya aturan didesain dengan mempertimbangkan seberapa mudah hal tersebut untuk ditanggapi (affordance) jadi lebih memberikan kesempatan automatic system untuk merespon. Nudge -- sebuah pendekatan paling mutakhir yang mengaplikasikan prinsip-prinsip behavioural science dan behavioural economics untuk mengubah individual problematic behaviour. Pendekatan ini mengedepankan automatic processing untuk memegang kendali dalam proses perubahan perilaku.

Dengan prinsip affordance, bentuk recycling paper dustbin ini lebih impactful daripada sekedar warna dan tulisan saja.
Dengan prinsip affordance, bentuk recycling paper dustbin ini lebih impactful daripada sekedar warna dan tulisan saja.
Salah satu pendekatan nudge adalah priming. Saya akan menjelaskan secara singkat: secara umum manusia memiliki kesan tertentu terhadap suatu hal -- misalnya pisang. Ketika berpikir pisang maka yang terbayang adalah kuning, manis, kera, kulit pisang dll yang mana kata-kata tersebut akan muncul secara otomatis tanpa perlu effort yang berat. Ini lah efek priming. 

Sebuah penelitian dengan apik menjelaskan fenomena ini, di mana sekelompok partisipan dibagi menjadi dua kelompok. Kedua kelompok tersebut diberikan sekelompok kata yang berbeda. Peneliti memberikan sekelompok kata bernuansa netral (misal: stamina, otot, dinamis, dll)  pada kelompok A dan kelompok kata bernuansa 'tua' (misal: lupa, beruban, berjenggot, dll) pada kelompok B. Kedua kelompok kemudian diminta untuk menggunakan sekelompok kata yang berbeda tadi untuk mengisi sebuah soal isian. Setelah selesai, partisipan satu per satu diminta untuk keluar dan pergi menuju suatu ruangan. Di sini lah penelitian sesungguhnya dilakukan di mana peneliti tersebut menghitung waktu tempuh masing-masing individu dari kedua kelompok tersebut dalam berjalan. Hasilnya, kelompok yang diberikan sekelompok kata bernuansa 'tua' (kelompok B) berjalan lebih lambat dibandingkan kelompok A. Sekelompok kata 'tua' tersebut secara tidak sadar membuat kognitif berpikir secara koheren dan membuat mereka berjalan lebih lambat -- sebuah perilaku yang kerap diasosiasikan dengan karakteristik orang tua.

Priming hanya satu dari sekian banyak teknik yang melibatkan automatic system untuk mengubah problematic behaviour. Pendekatan ini bukan mengajak, menghimbau, melarang, apalagi memberikan sangsi; tetapi memberikan kesempatan kepada automatic system manusia untuk merespon dengan mudah -- bukan driving atau pushing, tapi sesuatu yang lebih subtle, nudging.

Jadi kembali ke judul awal: mana yang diubah, mental atau aturan? Pertanyaan ini sangat relevan dengan permasalahan revolusi mental yang kerap kali digemborkan negarawan di negara ini.

Saya pribadi berpendapat bahwa aturan lah yang merubah mental manusia. Jadi, jangan gembor-gemborin mengubah mental tanpa aturan yang memfasilitasi perubahan tersebut. Sekali lagi, bukan hanya membuat aturan, tapi memastikan bahwa aturan tersebut mampu diikuti dan ditaati dengan mudah. Biarkan automatic system yang bekerja agar seirama dengan success rate-nya -- toh tujuan aturan dibuat kan untuk dipatuhi bukan?

Lalu apakah kemudian problematic behaviour tersebut dapat berubah total? Perlahan-lahan iya, asal penerapan aturan tersebut dilakukan di semua tempat. Masif dan menyeluruh. Penyelenggara pemerintahan harus saling sinergi, berkomitmen dan konsisten dalam menerapkan aturan tersebut dan tidak eksklusif hanya di kawasan tertentu saja. Ingat kembali bahwa pendekatan priming yang menjelaskan sistem kognitif manusia yang suka dengan sesuatu yang coherence -- dalam konteks perilaku masyarakat, ketika kebiasaan mengantri terbentuk di satu tempat pelayanan publik (misal bank), maka otak akan unconsciously expect untuk mengantri dalam konteks dan tempat yang lain. Bila aturan di tempat lain tidak mengakomodasi ekspektasi tersebut maka kebiasaan baru, dan mental tentunya, akan sulit terbentuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun