Mohon tunggu...
Dimas Budi Prasetyo
Dimas Budi Prasetyo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen dan konsultan

Praktisi di bidang marketing research dan dosen psikologi. https://dimasbepe.wordpress.com/who-am-i/

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Sedikit Insight Cara Menghindar dari Impulsive Buying

1 April 2019   22:25 Diperbarui: 3 April 2019   22:14 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Walaupun belum ada bahasa kita yang tepat menggambarkan impulsive, namun sebagian besar orang cukup familiar dengan kata ini terutama dalam konteks belanja. Jadi, apa itu impulsive? Di laman blog pribadi, saya pernah menjelaskan paper yang pernah saya ikutkan di sebuah konferensi. Supaya tidak mengulang-ulang, di sini saya akan menjelaskan secara singkat bahwa impulsive dalam konteks perilaku konsumen adalah perilaku di mana kita mudah tergoda untuk membeli suatu produk/menggunakan jasa tanpa proses berpikir yang panjang. Lawannya impulsive adalah self-control. Jadi secara logika, ketika kita punya self-control yang kuat, kita akan terhindar dari perilaku impulsive.

Awal ketertarikan saya dengan impulsivity adalah ketika saya bekerja di bidang marketing research, di mana saya terpapar oleh kondisi riil di mana impulse purchase terjadi di lapangan. Lalu topik tersebut berlanjut ketika saya melanjutkan kuliah di bidang consumer psychology; saat menghadap calon thesis supervisor saya berambisi untuk membuat sebuah alat ukur (konon katanya psikologi paling jago untuk membuat alat ukur sikap/perilaku manusia) yang mampu memprediksi kemampuan sebuah produk secara visual dalam menghasilkan perilaku impulsive. Calon supervisor saat itu menyambut ide gila saya dengan menyuruh saya banyak membaca jurnal ini itu. Dan saat itu juga saya 'diingatkan'. Rasanya mental dan otak manusia terlalu kompleks untuk bisa diajak memprediksi suatu kondisi abstrak yang belum pernah digunakan/dirasakan -- alhasil, hampir mustahil untuk bikin 'alat ukur' tersebut. At least saat itu. Mungkin beda kondisi ketika bidang neuroscience dan cognitive and machine learning sudah menjadi topik umum di tengah kita. Namun begitu, tesis saya tetap berjalan dengan topik yang sama walaupun bukan dalam konteks membuat alat ukur.

Berbicara mengenai impulsivity, berarti juga berbicara mengenai attention, perception, dan proses kognitif yang terjadi setelah kedua proses di awal berjalan. Di awal saya membahas mengenai impulsivity dan self-control. Hal ini terkait dengan bagaimana mental set kita memproses informasi. Hal yang paling umum mampu menjelaskan fenomena ini adalah dual sytem thinking yang banyak digunakan oleh psychologist dalam beberapa dekade terakhir. Sebut saja, system 1 dan system 2. System 1 berarti proses berpikir otomatis, intuitif, dan cenderung emosional, sehingga mudah untuk dilakukan (proses berpikir tersebut); sedangkan system 2 berarti proses berpikir reflektif/deliberative, struktural, logis sehingga cenderung lebih sulit untuk dilakukan. Secara umum, kita bisa membayangkan perilaku impulsive adalah buah dari hasil proses berpikir system 1. Perlu diingat, system 1 dan system 2 di sini bukan masalah good and bad, angel and devil, tapi lebih ke resource yang digunakan untuk generate hasil proses berpikir individu.

Secara kognitif, impulsivity bisa terjadi karena otak manusia pada dasarnya gemar melakukan simplifikasi, yang mana proses ini sangat melekat pada system 1. Selain itu, impulsivity juga bisa terjadi karena manusia memiliki bounded rationality, yaitu ketidakmampuan otak untuk menghasilkan keputusan yang reliable di waktu yang berbeda-beda karena proses kognitif yang dialami pun juga berbeda-beda -- hasil keputusan pun juga berbeda-beda. Jadi, impulsive atau tidak nya individu tersebut juga tergantung konteks dan waktu.

Nah, sudah tau sekilas tentang impulsive buying, lalu pertanyaan selanjutnya adalah gimana cara terhindar dari perilaku tersebut? Apalagi dalam konteks belanja?

Ketika menyusun tesis, saya mendapat beberapa pertanyaan 'tidak langsung' dari beberapa sumber. Kenapa 'tidak langsung'? Karena pertanyaan tersebut dilontarkan ketika saya sedang menyebar kuesioner penelitian tesis wkwkwk. Pertanyaan mereka persis seperti yang saya cantumkan di atas. Dalam kesempatan ini, saya akan coba memberikan sedikit gambaran tentang cara untuk keluar dari zona nyaman tersebut, zona di mana impulsivity sering terjadi di sekitar kita. Monmap karena agak filosofis, so silakan diturunkan sendiri secara pragmatis dan praktis.

Yang pertama adalah ketika ingin membeli sesuatu, usahakan kita tidak terpapar hanya pada satu pilihan saja. Kalau pun memang hanya satu pilihan pada satu tempat, coba mundur sejenak dan lihat di tempat lain ada item yang serupa atau tidak. Karena ketika dihadapkan oleh banyak pilihan, otak kita akan cenderung bekerja secara deliberative - jadi, membuat pilihan secara seksama dan lebih terkontrol. Sebuah penelitian di tahun 1998 menunjukan bahwa sebuah produk A yang dipersepsi baik ketika disejajarkan dengan produk yang memiliki keunggulan yang serupa (produk B, C dst) akan membuat persepsi positif produk A tersebut menurun. Sebaliknya, jika satu produk Z dipersepsi buruk, maka ketika produk tersebut disejajarkan dengan fitur yang serupa (produk Y, X dst) akan membuat persepsi produk Z tersebut menjadi naik.

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan studi di tahun berikutnya di mana stimulus yang dievaluasi secara bersamaan akan menghasilkan keputusan yang emosional dan impulsive. Jadi, secara umum, melihat banyak pilihan akan membuat kita galau. Galau inilah yang membuat otak kita bekerja jadi lebih refletif dan evaluatif sehingga pada umumnya keputusan yang kita ambil akan lebih terkontrol dan, tentunya, tidak impulsive.

Dalam berbelanja, bahkan untuk grocery products, saya sudah mendesain mental set saya bahwa setiap item yang saya beli di satu supermarket juga dijual di supermarket yang lain - jadi saya punya imaginary location options untuk tiap satu item belanja saya.

Hal yang kedua adalah hindari berbelanja ketika pikiran kita sedang cognitively high load -- terlalu banyak pikiran. Ketika dalam situasi ini, kapasitas memproses informasi akan menurun -- oleh karena itu, akan sangat sulit mengajak system 2 untuk turut bekerja mengolah informasi baru. Satu penelitian mencoba menjelaskan fenomena ini, di mana suatu hal dilihat dari sisi afektif dan kognitif. Peneliti mengambil chocolate cake dan fruit salad sebagai objek pengambilan keputusan. Kita sama-sama tahu bahwa dari segi kesehatan fruit salad lebih baik bagi tubuh kita. Berbeda dengan chocolate cake, secara rasa dia akan lebih menggoda ketimbang fruit salad. Dalam kondisi ini, chocolate cake lebih menarik secara afektif dan fruit salad lebih menarik secara kognitif.

Oke, sepertinya pembahasan dan istilah mulai agak berat. Tapi mudah-mudahan masih bisa ngikutin ya.

Hal lain yang ikut diteliti adalah processing resource, high vs low. High processing resource berarti usaha yang dilakukan untuk memproses stimulus lebih optimal ketimbang low processing resource. Singkatnya, high processing resource adalah kondisi di mana kita sedang tidak dibebani pikiran yang ruwet dan kompleks (dalam studi ini processing resource dimanipulasi dengan cara mengingat jumlah digit angka hingga proses recall terjadi -- 7 digit angka untuk low dan 2 angka untuk high processing resource). Hasil dari penelitian menunjukan bahwa dalam kondisi high processing resource, chocolate cake akan lebih banyak dipilih. Penelitian lain juga menunjukan hal yang sama di mana chocolate cookies lebih diminati ketimbang salad ketika kita dibebani oleh tugas yang berat secara kognitif. Hasil ini menunjukan bahwa dalam kondisi high cognitive load (banyak pikiran) kita akan cenderung memilih wants (keinginan) daripada needs (kebutuhan). Padahal belum tentu yang kita inginkan tersebut sesuai dengan yang kita butuhkan.

Jadi apa yang bisa kita ambil dari penelitian ini? Kita mungkin pernah mengalami kondisi di mana sering ngemil ketika banyak kerjaan, makan junk food ketika lagi banyak tugas, atau selebrasi dengan makanan kesukaan kita setiap kali menyelesaikan sesuatu. Nah, konteks ini cukup familiar ya? Prinsip yang sama bisa kita terapkan ketika shopping -- jangan sampai kita ke supermarket/lokasi belanja/atau apa pun itu dalam kondisi penat dan banyak pikiran. Tapi tunggu dulu, bukan berarti kita tidak boleh belanja pada saat penat lho. Santai dulu, relax dulu, usahakan makan yang kenyang terlebih dahulu, berikan otak kita relaksasi singkat. Jika sudah agak tenang, baru belanja.

Semakin sibuk individu, semakin banyak proses kognitif yang sedang dialaminya, semakin rentan juga ia berpikir secara otomatis, emosional dan intuitif -- makanya, akan banyak bergantung pada proses system 1. Saya pikir, sikap konsumtif yang marak terjadi di lingkungan kita juga berkaitan dengan hal ini -- sikap konsumtif berkaitan dengan perilaku impulsive; secara sosial, masyarakat kita banyak disibukan dengan urusan untuk bertahan hidup dan mencari kehidupan yang layak. Nahh, makanya proses berpikir otomatis banyak digunakan dikarenakan menurunnya processing capacity. Impulsive dan konsumtif pun akhirnya marak terjadi. Kira-kira make any sense ga? I don't know juga sih ... it's just a thought.

Yang terakhir adalah, ini topik yang pernah saya teliti juga, sempatkan diri untuk terlibat dalam exercise secara rutin dan terjadwal (repeated exercise). Repeated exercise ini akan berfungsi sebagai self-control muscle. Dalam penelitian yang saya lakukan, saya melihat efek dari latihan bela diri di tiga kelompok yang berbeda: (1) kelompok yang rutin berlatih bela diri, (2) kelompok yang dulu pernah rutin berlatih bela diri namun sudah berhenti (quitters), (3) kelompok yang tidak pernah berlatih bela diri sama sekali. Hasil menunjukan bahwa berlatih bela diri menjadi prediktor individu terhindar dari perilaku impulsive terutama bagi mereka yang rutin berlatih bela diri dan pernah rutin berlatih bela diri di masa lalu. Terlebih lagi, semakin tinggi level/sabuk yang mereka capai dan/atau semakin sering dia berlatih juga menjadi prediktor terhindar dari perilaku impulsive di kelompok quitters. Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian lainnya yang menunjukan bahwa bela diri membantu individu untuk fokus, disiplin, dan memperkuat self-control sehingga terhindar dari perilaku impulsive.

Manfaat lain dari exercise adalah olah tubuh yang juga memperlancar peredaran darah dan bermanfaat bagi tubuh. Ingat, otak juga bagian dari tubuh -- peredaran darah yang lancar akan membuat sel otak mendapatkan suplai darah segar sehingga memperlancar metabolisme sel otak. Hasilnya, sel otak terjaga kesehatannya.

Tentu saja, martial art hanya satu dari banyak jenis repeated exercise. Kita bisa menemukan sendiri exercise masing-masing, yang terpenting adalah exercise tersebut rutin dan terjadwal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun