A bercerita kalo dulu dia pernah mempunyai teman yang sangat dekat dengan dia. "kalo gw si nganggep dia sahabat, nggak tau kalo dia ke gw". Sosok sahabat si A ini dia ceritakan sebagai temannya yang paling dekat. Mereka sering nongkrong bareng, main ke rumah, jalan-jalan, dan lain-lain.
Namun karena satu dan lain, hubungan persahabatan mereka renggang. A enggan terlalu banyak menceritakan alasannya tapi yang pasti mereka tidak lagi sedekat dulu. "gw pernah coba buat curhat ke dia waktu gw lagi di titik terendah gw. Tapi dia sama sekali nggak merhatiin, malah coba alihin pembicaraan nya ke yang lain"
"Hidup terasa sepi sekarang. Mungkin orang lain liatnya gw seneng terus tiap harinya. Tiap hari ketawa sana kemari. Tapi tiap kali gw pulang kerumah, kepikiran lagi sama masalah-masalah gw. Dan siklus nya muter-muter gitu aja terus tiap harinya. Mungkin mereka juga gak peduli apa yang terjadi di dalam pikiran gw". Tuturnya
 Terakhir, A menyampaikan keresahannya "Gw ngerasa mereka cuman ngeliat gw sebagai alat mereka aja gitu. Alat buat bikin mereka ketawa, buat dengerin curhatan mereka. gw rasa kalo gw ngilang juga gak bakal dicariin. Ya mungkin sesaat aja mereka nangisin gw, selebihnya ya cari pengganti gw".
Kasus yang dialami A adalah satu contoh kegagalan di tahapan perkembangan emosional Intimacy vs Isolation. Walau berada ditengah lingkungan pertemanan, namun dia tidak merasakan kedekatan (intimacy) yang berarti.
Walau sekarang A dalam fase isolation, tidak menutup kemungkinan kelak dia membuka hati untuk mungkin terbuka dengan orang lain. Menahan masalah sendiri memanglah menyakitkan. Demikian juga dengan merasa kesepian di tengah keramaian. Tidak semua orang bisa menjadi pendengar yang baik. Hidup cukup menarik untuk dijalani. Tetap berusaha, stay strong, kelak kebahagiaan akan datang dengan sendirinya. Someday.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H