Percakapan mereka terus mengalir, tak hanya tentang produk, tapi juga soal kota Samarinda, pengalaman Dimas berkeliling Indonesia, dan cerita Nurul tentang rutinitasnya di perusahaan. Dimas tak bisa tidak mengagumi cara bicara Nurul yang lugas namun bersahaja. Sementara itu, Nurul diam-diam merasa nyaman berbicara dengan pria dewasa yang tampak begitu berdedikasi pada pekerjaannya.
Ketika malam mulai turun, suasana di kafe menjadi lebih hangat dengan lampu temaram. Nurul sempat terdiam sesaat, memandang Dimas yang tengah menjelaskan strategi implementasi. Ada sesuatu yang berbeda dari pria ini, pikirnya. Bukan hanya karena pengetahuannya, tetapi juga cara ia mendengarkan dan memberi tanggapan.
**"Pak Dimas,"** Nurul akhirnya bertanya, "apa yang membuat Bapak begitu yakin dengan produk ini?"
Dimas tersenyum lebar. "Karena saya percaya, perubahan kecil seperti beralih ke cat ramah lingkungan bisa membawa dampak besar. Saya ingin anak-anak kita nanti tetap bisa menikmati keindahan alam ini. Seperti Sungai Mahakam yang sedang kita lihat sekarang."
Jawaban itu membuat Nurul terpaku sejenak. Ada ketulusan yang terasa dalam setiap kata Dimas. Ia ingin mengutarakan sesuatu, tapi ragu-ragu.
---
Beberapa hari setelah pertemuan itu, Dimas kembali ke Yogyakarta. Proyek dengan perusahaan Nurul berjalan lancar. Proposal yang ia ajukan diterima, dan kontrak segera ditandatangani. Namun, ada sesuatu yang tertinggal di Samarinda. Bukan dokumen, bukan barang, tapi kenangan percakapannya dengan Nurul.
Di sisi lain, Nurul merasa ada sesuatu yang ia lupakan. Sejak pertemuan itu, bayangan Dimas sering menghampiri pikirannya. Bukan hanya karena profesionalisme pria itu, tapi juga caranya membuat percakapan yang ringan terasa berarti. Nurul sadar, ia telah menyimpan rasa yang lebih dari sekadar kekaguman.
Tapi waktu telah berlalu. Nurul terlalu sibuk dengan pekerjaannya hingga tak sempat menghubungi Dimas. Hingga suatu hari, ketika ia tengah menikmati senja di Mahakam River View, ia menyadari perasaan itu.
**"Kenapa aku tidak mengatakannya waktu itu?"** gumam Nurul, menggenggam cangkir kopinya erat. Tapi ia tahu, Samarinda dan Mahakam masih akan menjadi saksi. Dan siapa tahu, jalan mereka akan kembali bertemu.
---