Menurut Global Hunger Index (GHI), kelaparan di Indonesia menunjukkan perbaikan dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2023, Indonesia mencatatkan skor GHI sebesar 17,6, skor terendah sejak 2000. GHI mengukur kelaparan berdasarkan empat indikator: prevalensi kurang gizi, stunting, wasting, dan angka kematian anak. Skor ini masuk dalam kategori "sedang", lebih baik dibandingkan periode 2000-2015 yang tercatat "serius"
Namun, Indonesia masih memiliki skor GHI yang buruk, dengan peringkat 50 dari 125 negara, dan terburuk kedua di Asia Tenggara setelah Timor Leste. Penurunan angka stunting masih jauh dari target, dengan penurunan hanya 0,1% dari 21,6% di 2022 menjadi 21,5% di 2023. Pemerintah menargetkan penurunan angka stunting menjadi 14% pada 2024, meski menghadapi tantangan besar.
Dampak Hunger Crisis di Indonesia:
Peningkatan Kemiskinan dan Ketidaksetaraan: Krisis pangan memperburuk kemiskinan, terutama di daerah terpencil dan bagi masyarakat berpendapatan rendah, karena mereka kesulitan mengakses pangan yang cukup dan bergizi.
Kesehatan Masyarakat yang Menurun: Kelaparan dan malnutrisi menyebabkan masalah kesehatan, seperti stunting, gizi buruk, dan meningkatnya angka kematian, terutama pada anak-anak.
Ketergantungan pada Impor Pangan: Indonesia semakin bergantung pada impor pangan, seperti beras, gula, dan kedelai, yang meningkatkan kerentanannya terhadap fluktuasi harga pangan global dan mengancam ketahanan pangan nasional.
Ketidakstabilan Sosial dan Politik: Kenaikan harga pangan yang terus-menerus memicu ketidakpuasan masyarakat dan dapat menyebabkan ketegangan sosial serta konflik, yang berimbas pada ketidakstabilan politik.
Penurunan Kualitas Pendidikan: Kelaparan dan malnutrisi menghambat perkembangan anak-anak, yang berdampak pada kemampuan belajar mereka, sehingga mempengaruhi kualitas pendidikan dan masa depan mereka.
Studi Kasus:
Krisis kelaparan di Papua telah menyebabkan kematian, seperti yang terjadi di Distrik Amuma, Yahukimo, dengan 23 orang meninggal akibat kelaparan pada Oktober 2023. Kasus serupa juga terjadi di Kabupaten Puncak dan Lanny Jaya sebelumnya. Menurut pengamat, faktor-faktor seperti sistem pertanian yang tidak berkelanjutan, kondisi kesehatan masyarakat yang rapuh, dan pembangunan daerah yang belum optimal berperan dalam terjadinya kelaparan yang berulang di Papua.
Untuk mengantisipasi hal ini, BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) mengirimkan bantuan darurat berupa makanan pokok, makanan siap saji, air minum, dan kebutuhan dasar lainnya ke Papua Tengah. Bantuan ini disimpan di gudang di Distrik Sinak, Kabupaten Puncak, agar distribusinya lebih cepat jika terjadi kelaparan. Langkah ini diambil sebagai tindakan proaktif, mengingat wilayah Papua rawan gagal panen selama musim dingin pada Juli hingga September.