Mohon tunggu...
Dimas Aria Putra J
Dimas Aria Putra J Mohon Tunggu... Konsultan - Mahasiswa S2 Magister Hukum Litigasi FH UGM

Saat ini sedang menempuh pendidikan S2 di Magister Hukum Litigas Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Adaptasi Masyarakat dalam Menyambut Kedaulatan Hukum Pidana di Indonesia

24 September 2019   08:30 Diperbarui: 24 September 2019   08:36 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bangsa Indonesia baru-baru ini diramaikan oleh gencarnya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang konon akan segera disahkan. Bangsa Indonesia telah lama memakai KUHP peninggalan kolonial yang tidak sedikit telah digunakan untuk menjadi dasar penjatuhan pidana bagi para pelaku tindak pidana. 

Dalam kerangka pikir KUHP lama terjadi cukup banyak ketidakpastian hukum yang muncul serta tujuan pemidanaan yang tidak relevan lagi dengan perkembangan masyarkat saat ini.

Bukan waktu yang singkat bagi masyarakat dalam beradaptasi pada KUHP lama, semenjak disahkannya Wetboek van Straftrecht voer Nederlandsch Indie (WvSNI) menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia dengan dikeluarkannya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang kemudian baru diberlakukan di seluruh wilayah Republik Indonesia dengan UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Republik Indonesia Tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia Dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada 20 September 1958.

Sudah 74 tahun Bangsa Indonesia merasakan kemerdekaan dan merasakan ketidakpastian hukum KUHP lama dengan segala kelemahannya, yang paling menonjol ialah tidak adanya kesamaan persepsi dalam menafsirkan KUHP (aslinya berbahasa belanda) yang lama ini berakibat perlakuan dalam menegakkan hukum pidana di Indonesia. 

Hal ini bukanlah isapan jempol semata, melainkan telah lama dirasakan oleh aparat penegak hukum dan para praktisi hukum lainnya. Mereka yang menyadari hal ini kemudian sedapat mungkin melakukan penemuan hukum guna memberikan rasa keadilan dalam kehidupan bermasyarakat.

Bangsa Indonesia telah beradaptasi pada ketidakpastian hukum yang ada pada KUHP lama. Hal ini lantas menjadikan pola pikir di masyarakat cenderung stagnan dan mulai mewujudkan tujuan dari KUHP lama. 

Saat ini, masyarakat kemudian dituntut untuk beradaptasi pada hal yang baru, cara pandang baru dalam menyikapi persoalan pidana. Penulis meyakini bahwa dalam perubahan yang diharapkan terjadi di masyarakat dengan pranata hukum pidana perlu adaptasi yang tidak singkat, secara normatif RKUHP mulai berlaku 2 (dua) tahun semenjak tanggal RKUHP disahkan menjadi Undang-Undang (vide Pasal 628 RKUHP). 

Sehingga, masyarakat dan aparat penegak hukum diberi ruang untuk beradaptasi. Hal ini tentu saja akan membawa dampak pada kebijakan politik anggaran guna mensukseskan terwujudnya tujuan RKUHP itu sendiri

Adaptasi disini idealnya tidak hanya sebatas pada substansi hukum, melainkan pula pada struktur hukum dan budaya hukum. Secara substansi hukum, akan terjadi perubahan yang cukup signifikan terhadap banyak undang-undang yang memuat ancaman sanksi pidana supaya melakukan penyesuaian atas semangat tujuan pemidanaan yang baru. 

Struktur hukum disini meliputi pula infrastruktur hukum dan suprastruktur hukum, hal ini bukan perkara mudah mengingat masih perlunya pembenahan disana-sini dan faktor-faktor penghambat yang dijumpai ditataran prakatek. 

Budaya hukum kemudian perlu diciptakan di kehidupan bermasyarakat dan aparat penegak hukum untuk disesuaikan pada tujuan pemidanaan RKUHP, hal ini bukan perkara mudah karena melibatkan beragam faktor dan mengingat kemajemukan yang luar biasa di Indonesia.

Angin segar saat ini semakin mendekati Bangsa Indonesia dengan RKUHP ini. Masyarakat luas khusunya sebagai pihak yang diharapkan oleh negara mampu untuk tidak melanggar segala apa yang telah tertuang dalam RKUHP sehingga dapat mewujudkan tujuan pemidanaan yakni mencegah dilakukannya  Tindak  Pidana  dengan menegakkan norma hukum demi pelindungan dan pengayoman masyarakat;  memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna; menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat Tindak Pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat; dan menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana. (vide Pasal 52 ayat (1)). Pemidanaan sendiri dalam pandangan RKUHP tidak dimaksudkan untuk merendahkan martabat manusia (vide Pasal 52 ayat (2)

Perubahan Paradigma Pemidanaan

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP yang tengah digodok saat ini memiliki karakteristik dan cara pandang yang jauh berbeda dengan KUHP yang lama. Meskipun demikian, perubahan paradigma yang sungguh signifikan ini masih kurang diperhatikan. Penulis disini mencoba menuangkan perubahan paradigma yang terjadi. RKUHP sebagai pedoman umum hukum pidana di Indonesia saat ini telah memasukkan serangkaian asas-asas hukum yang semula sama sekali belum masuk pada KUHP lama, asas-asas hukum pada KUHP lama cenderung muncul dari doktrin-doktrin para ahli hukum pidana, bukan berasal murni ketentuan KUHP. Saat ini, asas-asas yang tertuang dalam RKUHP ini mau-tidak mau haruslah dipakai oleh para aparat penegak hukum.

Eksistensi Asas Legalitas yang saat ini dibarengi pula oleh hukum yang hidup di masyarakat merupakan dobrakan pemikiran yang sungguh berani. Sebab, dengan adanya asas legalitas berdampingan dengan hukum yang hidup di masyarakat memberikan legalitas dan legitimasi pada masyarakat adat supaya makin eksis dan diakui oleh Negara keberadaannya. Namun, hal yang menarik dan cukup sulit untuk dibayangkan ialah aturan pelaksana dan penerapan ketentuan ini pada masyarkat yang multi-heterogen di Indonesia, baik dari segi etnis, suku, agama, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi, tingkat kesejahteraan, tingkat kesehatan, dan segala macam variabel sosial yang lain. Pendalaman yang komprehensif atas persoalan ini perlu dipikirkan masak-masak, apalagi dengan adanya ketentuan pidana pemenuhan kewajiban adat sebagai salah satu bentuk pidana tambahan (vide Pasal 66 ayat (1) huruf f).

Kecenderungan RKUHP saat ini menggunakan pendekatan yang jauh berbeda, dari yang semula semata-mata pidana untuk menghukum pelaku tindak pidana, saat ini pidana diharapkan menjadi upaya kortektif pada pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana.

Kaitannya dalam hal hakim menjatuhkan pidana pada pelaku tindak pidana harus memperhatikan kepastian hukum dan keadilan, dalam hal terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan maka diutamakan keadilan (vide Pasal 53 RKUHP).

RKUHP sudah memberikan pula pedoman pemidanaan bagi hakim yang cukup spesifik bilamana akan menjatuhkan pidana yakni kesalahan pelaku Tindak Pidana; motif dan tujuan melakukan Tindak Pidana; sikap batin pelaku Tindak Pidana;Tindak Pidana dilakukan dengan direncanakan atau tidak direncanakan; cara melakukan Tindak Pidana; sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan Tindak Pidana; riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pelaku Tindak Pidana; pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku Tindak Pidana; pengaruh Tindak Pidana terhadap Korban atau keluarga Korban;  pemaafan dari Korban dan/atau keluarganya; dan/atau nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. (vide Pasal 54 ayat (1) RKUHP).

Bahkan dalam RKUHP saat ini juga mengakomodir pedoman pemidanaan yang pelakunya merupakan korporasi, hakim wajib memberikan pertimbangan yakni tingkat kerugian atau dampak yang ditimbulkan; tingkat keterlibatan pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional Korporasi dan/atau peran pemberi perintah, pemegang kendali, pemberi perintah, dan/atau pemilik manfaat Korporasi; lamanya Tindak Pidana yang telah dilakukan; frekuensi Tindak Pidana oleh Korporasi; bentuk kesalahan Tindak Pidana; keterlibatan Pejabat; nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat; rekam jejak Korporasi dalam melakukan usaha atau kegiatan; pengaruh pemidanaan terhadap Korporasi; dan/atau kerja sama Korporasi dalam penanganan Tindak Pidana. (vide Pasal 56 ayat (1) RKUHP).

Semangat seperti itu yang kemudian dijumpai saat ini pada RKUHP, semangat restorative justice. Bukan hanya semata-mata pembalasan. Perubahan pola pikir ini nantinya diharapkan berdampak secara baik pada tatanan sosial dan mendobrak status quo ketidakpastian hukum pada KUHP lama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun