"Meninggalkan kenyamanan untuk sesuatu". Kiranya ungkapan tersebut yang 'pas' saya sematkan kepada sepasang suami-istri yang kini begitu bahagia setelah meninggalkan 'kenyamanan'. Keluar dari zona nyaman, itu yang mereka lakukan. Namun, tak semua orang mampu melakukan hal tersebut. Meskipun, banyak yang ingin sekali 'menjajalnya'. Mereka berdua telah berhasil melalui halang-rintang jalan exit zona nyaman.
Salah satu alasan saya menyukai 'dolan', atau lebih dikenal dengan travelling, atau jalan-jalan, atau istilah-istilah lainnya yang serupa, adalah bertemu dengan orang baru. Saya selalu diberikan kesempatan untuk mengosongkan gelas saya. Interaksi, menjelma menjadi teko nan cantik. Dolan Kuliner yang diadakan oleh Kompasianer Jogja menjadi salah satu wahana dipertemukannya saya dan teman-teman dengan orang baru.
Budi dan Maria. Dua sosok orang yang kami temui beberapa waktu silam. Hingar-bingar dan gemerlap dunia hiburan adalah makanan Budi sehari-hari selama belasan tahun.Â
Hampir semua pulau besar yang memiliki dunia hiburan, dalam genggamannya. Jawa, Bali dan Kalimantan. Jasa konsultan set-up tempat hiburan pun ia geluti. Tak hanya sampai di situ, bangku jabatan direktur salah satu perusahaan hiburan terbesar di Indonesia pun didudukinya. Hingga akhirnya, Budi memutuskan untuk menjadi pedagang angkringan di pinggir jalan.
Bukan karena kebangkrutan atau pun insiden phk dari perusahaan. Ia menyebutnya "panggilan". Tak hanya sobat pembaca yang berpikiran bahwa doi 'gila'. Banyak orang berkata bahwa apa yang ia lakukan itu di luar akal sehat, terutama orang-orang terdekatnya. Kesuksesan telah berpihak kepadanya, kedudukan jabatan bagus telah didudukinya, semua serba tercukupi, lalu apa lagi yang dicari? Apa yang membuatnya menjadi se-'gila' itu?
Ketika kami temui beberapa waktu silam, Budi menjawab dengan senyum sebagai pembukanya: "Ini semua karena panggilan hati", jelas Budi kepada kami. Lewat senyumnya, saya bisa membaca bahwa kini Budi adalah sosok yang bahagia. Bahagia lahir dan batin.
3 tahun berjalan, tekad mereka pun berbuah manis. Lebih dari 2.000 pengunjung dari lebih 60 negara telah mengunjungi kedai mereka yang berada di Jogja Paradise Foodcourt. Sate Merah dan Lilit Basah menjadi menu best seller yang mereka miliki. Satu lagi menu yang ada, yaitu Ceker Tugel. Saya penasaran sekali dengan menu tersebut, sayang kemarin saya tidak bisa mencicipnya.
Sate Merah adalah sate ayam dengan potongan besar yang dibumbui dengan bumbu merah. Bumbu merah sendiri merupakan bumbu sate yang diracik dan diciptakan sendiri oleh Budi, pemilik Sate Ratu. Menurut penuturan Budi, ia terinspirasi dari Sate Lombok. Budi tidak menjelaskan lebih detail. Saya mengira, ia terinspirasi dari Sate Tanjung. Sate ikan khas Tanjung, Lombok Utara. Dari bumbu sate itu, ia kemudian bereksperimen hingga terlahir bumbu merah Sate Ratu.
Lilit Basah. Pertama kali saya mendengar menu tersebut, saya membayangkan daging ayam cincang yang dililitkan di batang sereh. Ternyata salah! Lilit basah sendiri memang berbahan baku daging ayam cincang, namun tidak disajikan dengan cara dililitkan di batang sereh lalu dibakar di atas bara arang. Daging ayam cincang dibentuk balok kemudian disimpan ke dalam freezer. Untuk penyajiannya, daging ayam cincang dari dalam freezer digoreng di atas wajan yang sebelumnya diberi mentega. 4 buah balok---Lilit basah---disajikan di atas piring, ditaburi bawang goreng dan ditemani timun acar. Untuk rasa condong ke arah manis, daripada pedas. Menu ini bisa menjadi alternatif bagi yang kurang suka pedas.
Mereka berdua akan menyambut dan melayani sobat pembaca sekalian di kedai mereka, tentu saja dengan ramah dan bersahabat. Sekadar untuk mencicip sate merah, lilit basah atau ceker tugel. Ingin menjajal kemampuan bahasa Inggris mereka juga bisa---hehe. Saya, angkat topi untuk mereka berdua.
Salam,
 Dimas
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H