Minggu itu, matahari masih hangat-hangatnya. Jarum jam dinding menunjukkan pukul 6.30. Aku pun bergegas menuju taman kebun binatang Gembira Loka Yogyakarta dengan mengendarai sepeda motor. Hari itu mendadak tak serasa libur. Bangun pagi, mempersiapkan segala sesuatunya pagi hari, mandi pun pagi-pagi. Serasa seperti hari sekolah.
Mata pun masih terasa kantuk. Angin yang menerpa wajahku bagaikan bersenandung nina bobo. Badan belum segar betul, meskipun air mandi pagi itu serasa air kulkas. Dingin, tapi menyegarkan.
Pagi hari itu aku sudah membuat janji dengan beberapa teman. Teman lama dan teman baru. Aku, Vika dan Chris sepakat bertemu di Gembira Loka pukul 7.00. Kesepakatan itu tidak akan terjadi tanpa Vera. Vera lah yang membuat perkara kami harus bangun pagi di akhir pekan. Lewat Vera pula kami dikenalkan dengan teman-teman Sahabat Literasi dari Kanisius.
Tujuan utama kami ke Gembira Loka bukanlah untuk berekreasi, seperti kebanyakan orang. Tujuan kami adalah menyebarkan virus literasi. Canggih betul ya tujuannya? Terlalu muluk bahasanya, sederhananya begini: kami akan membagikan buku cetak terbitan Kanisius secara cuma-cuma kepada masyarakat yang berekreasi di Gembira Loka.
Kalau dibilang literasi, nanti harus ada menulis juga dong ya? Jika dilihat dari bahasa Latin, literatus: "a learned person" atau orang yang belajar. Berarti boleh lah ya disebut "literasi" meskipun hanya membaca? Orang bisa membaca kan juga dari menulis, iya tidak? Cukupkan perdebatan ini kisanak, biarkan daku lanjut bercerita.
Setelah kami semuanya berkumpul di depan gerbang masuk Gembira Loka, saatnya kami menunggu. Menunggu yang punya rumah membukakan pintu, namanya juga tamu. Pintu gerbang pun dibuka. Tidak afdol jika tidak berfoto bersama terlebih dahulu, alhasil kami pun foto bersama di depan pintu gerbang.
Setibanya di dalam Gembira Loka, kami berkumpul di sebuah tempat. Entah semacam gazebo atau apa namanya. Di situ kami berkumpul untuk berdoa bersama sebelum melakukan aktivitas. Kami berdoa memohon kepada Tuhan agar aktivitas kami nantinya diberikan keselamatan, kelancaran dan diridhoi olehNya.
Aku dan Vika berada di titik dekat dengan kandang kancil bersama beberapa teman dari Sahabat Literasi. Kebingunganku sejak awal kagiatan, "nanti ini ngapain", akhirnya terjawab. Beberapa pengunjung mulai terlihat dan semakin bertambah. Teman-teman Sahabat Literasi pun beraksi. Sambil membawa buku di dalam dekapannya, mereka mendekati beberapa pengunjung dan menyodorkan sebuah buku.
"Silakan bu", tawaran ramah seorang teman Sahabat Literasi kepada seorang pengunjung ibu-ibu.
Spontan ibu-ibu itu pun mengangkat tangan sejajar dengan dada sambil menggoyang-goyangkannya. Bahasa tubuh itu jika diterjemahkan artinya adalah: "Tidak". Kata penolakan yang didapat.
Aku pun masih duduk sambil terus mengamati. Beberapa teman Sahabat Literasi pun mendapatkan perlakuan yang sama dari beberapa pengunjung. Penolakan tersebut wajar saja terjadi. Satu, ini adalah tempat rekreasi, tempat di mana biasanya banyak yang menjual produk dengan penawaran yang menggiurkan. Kedua, teman-teman Sahabat Literasi menggunakan seragam. Kesimpulannya, ketika mereka menawarkan buku tersebut kepada pengunjung, stigma tentang saleslah yang muncul pertama kali di benak para pengunjung.
Namun, tekad dan usaha teman-teman Sahabat Literasi tak kunjung surut. Mereka tetap menawarkan dengan memberikan penjelasan lebih.
Ibu itu kemudian menerima buku tersebut dan membolak-balikkannya. Bingung, penuh tanya masih tersirat di raut muka si ibu. "Benar mbak gratis?", tanya si ibu memastikan.
"Benar bu, gratis. Saya hanya minta ibu membacanya, tapi jangan di jual ya bu", terang teman Sahabat Literasi.
"Oke deh mbak, makasih ya", jawab setuju si ibu. "Benar ini mbak gratis? Nanti mbak gak dapat apa-apa dong", tanya ragu si ibu ketika akan melanjutkan langkahnya.
"Benar bu, saya tidak berjualan di sini. Kami membagikan buku secara gratis. Harapan kami, ibu membaca buku itu dan mendapat ilmu dari bacaan tersebut. Semoga bermanfaat bu", jelas tegas teman Sahabat Literasi.
"Terima kasih banyak ya", si ibu mengucapkan sambil menaikkan sedikit buku yang dipegangnya, langkah kakinya pun kini mantap ketika meninggalkan lokasi tersebut.
"Masyarakat ini ada-ada saja ya. Saat ditawari, dikiranya membeli, tidak mau. Tahunya gratis, mau, tapi ragu. Terus maunya apa coba?", gumamku dalam hati.
Lucu ketika mendapatkan jawaban: "Saya membaca lewat gawai". Jawaban tersebut didapat dari seorang ibu-ibu yang berkunjung bersama putri remajanya. Aku pun tadinya hanya penasaran saja, dan meminta kepada seorang teman Sahabat Literasi untuk menawarkan kepada selain anak-anak. Ternyata jawaban tersebut muncul dari mulut ibu tersebut. Entah menolak secara halus atau ingin terlihat keren. Hal tersebut sah-sah saja, tidak usah diperdebatkan. Hak masing-masing individu.
Konten-konten hoaks yang bertebaran di luar sana patut menjadi kewaspadaan kita. Terlebih, kini mudah sekali konten tersebut tersebar, bahkan viral dalam hitungan detik. Itulah pentingnya literasi. Pastikan konten yang kita dapatkan itu valid, jangan malas untuk menelusuri tetapi rajin dalam membagikan. Kendalikan jempol kita, meskipun menyentuh/menekan tombol "bagikan" bisa dalam mode "auto pilot".
Sebagai konsumen yang baik, sepatutnya kita pastikan apa yang kita konsumsi itu baik. Begitu pula ketika kita menjadi produsen, sepatutnya kita memproduksi hal yang baik. Membaca buku cetak, bukanlah sesuatu hal yang ketinggalan zaman. Pilihan ada di tangan Anda.
Kamu pilih dia atau aku?
Salam literasi,
 Dimas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H