Mohon tunggu...
Dimas Anggoro Saputro
Dimas Anggoro Saputro Mohon Tunggu... Insinyur - Engineer | Content Creator

"Bisa apa saja", begitu orang berkata tentang saya.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Sabtu Malam, Cara Lain Menikmati Alun-alun Utara

27 Agustus 2017   01:00 Diperbarui: 27 Agustus 2017   11:15 1067
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alun-alun utara Jogja (IG:@fazafakhriyan/@dronejogja)

Sabtu, 12 Agustus 2017. Langit Jogja kala itu mulai memerah seiring dengan sang mentari berjalan menuju ke peraduannya. Jogja masih saja mistis, namun masih saja tetap romantis.

Malam minggu tidak ada di dalam kamus para jomlo. Kata mereka, yang ada adalah sabtu malam ataupun "malam jahat". Sudah punya pasangan maupun masih bernasib jomlo tak jadi masalah. Terkadang yang menjadi masalah adalah: "Mau makan apa?"

Kalimat "horror"

Harapan orang yang berpasangan ketika malam minggu adalah memadu kasih bercahayakan lampu lilin, bahasa bekennya candle light dinner. Rencana makan romantis akan menjadi "mistis" bahkan "horror" ketika pasangan tersebut berdebat "Mau makan apa?". Alamat, perut tambah lapar, badan semakin lemas, pertengkaran pun tak terelakan. Begitulah dinamika mau makannya orang berpasangan.

Hei jomlo! Jangan bahagia dulu bisa menertawakan. Kamu pun juga punya masalah dengan "Mau makan apa?". Gejolak tersebut muncul di dalam diri sendiri. Perdebatan batin pun tak terelakan. Perut sudah terasa lapar, mulut rasannya sudah ingin mengunyah, lidah pun ingin bergoyang, uang ada, namun kenapa kalimat "Mau makan apa?"bersarang di dalam benak? Renungkan nasibmu ya, jangan lupa berdoa dan berusaha.

Sehat yang digoreng atau dibakar?

Makan itu untuk hidup, bukan hidup untuk makan. Hidup itu harus makan, meski hidup tak selalu untuk makan. Kalimat sederhana yang terkadang tidak semua orang bisa memahami kalimat tersebut. Sebelum menyantap makanan Anda, bahkan sebelum memilih menu makanan Anda, terpikirkan tidak di benak Anda: "Teknik memasak apa yang akan saya pilih untuk makanan saya?". Sederhananya begini, makan makanan yang dikukus, digoreng, dibakar, atau makan mentah?

Apa pun pilihan teknik memasak untuk makanan yang akan Anda santap, semuanya memiliki risiko masing-masing. Salah satu trend makanan yang sering, bahkan mudah dijumpai adalah dibakar atau digoreng. Selain mudah untuk disajikan langsung, para pengusaha kuliner lebih meliriknya karena mengundang minat dari semua kalangan.

Makanan yang digoreng dengan menggunakan minyak, katanya lebih berisiko untuk kesehatan. Belum tentu. Minyak yang digunakan terkadang adalah minyak yang tidak sehat (minyak bekas). Parahnya lagi, minyak tersebut dipakai berkali-kali. Makanan yang digoreng dengan minyak goreng baru pun belum tentu juga sehat, kalau minyak tersebut digunakan lebih dari tiga kali. Lalu, berarti makanan yang dimasak dengan cara dibakar lebih sehat dong? Terlalu dini kesimpulan tersebut.

Ayam bakar, sambel terasi, terancam (dok.pri)
Ayam bakar, sambel terasi, terancam (dok.pri)
Proses pembakaran makanan dengan suhu yang tinggi, tidak baik. Karena akan merusak protein yang terkandung di dalam bahan makanan (terlebih untuk makanan dengan bahan baku utamanya ikan dan daging). Protein dari bahan-bahan tersebut berubah menjadi amina heterosiklik, sehingga jika masuk ke dalam tubuh akan mengakibatkan peningkatan risiko terhadap kanker payudara,kanker lambung dan kanker usus besar.

"Kalau begitu, tidak usah makan". Itu bukan solusi cerdas! Mau bagaimana pun teknik memasak makanan, kuncinya ada pada proses memasaknya. Proses memasak yang aman adalah kuncinya. Masalah dibakar atau digoreng, yang penting jangan berlebihan dan sering. Pola makan perlu dijaga, namun jangan meninggalkan makan.

Menikmati suasana alun-alun utara sambil bersantap malam di beBakaran

Aneka menu (dok.pri)
Aneka menu (dok.pri)
Aneka menu dengan teknik memasak dibakar telah tersaji rapi di meja saya, kala sore di Warung beBakaran. Saya kalau makan, pasti selalu melihat tampilan makanannya, kemudian memfungsikan indera penciuman untuk mencium aroma masakan tersebut. Bukan maksud hati menjadi pemilih, namun hidup itu adalah pilihan.

Ikan lele bakar kecap, tempe bakar kecap, tahu bakar kecap, bakso ikan bakar pedas dan terancam serta sambel terasi, favorit! Tampilan lele bakar kecap terlihat mengkilat, saya menduga jika nanti lidah saya bertemu lele tersebut, rasa kecap saja yang akan tercecap. Tunggu dulu! Dugaan saya gugur. Lele dibakar sempurna, ternyata ada rasa lain di dalam daging lele tersebut selain rasa kecap. Entah apa saja bumbunya, yang jelas lele yang saya makan tidak hanya berselimut kecap. Begitu pun saat mencecap tahu dan tempe, lezat!

Yang luput dari perhatian saya justru pendorong makanannya, minuman. Seketika istri saya nyeletuk "Es tehnya enak Pi! Teh apa ya ini?" Wajah bahagianya memancar seraya dengan lepasnya dahaga. Menyoal teh, istri saya jago. Dari mencium aromanya saja (belum diseduh), dia sudah bisa menebak enak dan tidaknya. Maklumlah, dia penyuka teh, sedangkan saya penyuka kopi.

Saking penasarannya dengan teh yang disajikan, istri saya bertanya langsung kepada pengelola warung tersebut. "Ini teh apa pak? Enak tehnya. Ini pasti teh racikan ya?", tanya istri saya kepada Pak Nur selaku pengelola. "Yang jelas itu lebih dari tiga teh mbak", jawab singkat Pak Nur dengan senyum penuh misteri. Selain tehnya enak, warung beBakaran ternyata baru ada promo es teh gratis untuk makan di tempat. Puas tambah minum es teh ini!

beBakaran Jogja (dok.pri)
beBakaran Jogja (dok.pri)
Warung yang buka pada pukul 09.00-22.00 WIB tersebut juga memiliki menu bebakaran "rasa enak" lainnya. Ada empat pilihan rasa enak yang dimiliki: bebakaran kecap, bebakaran pedas, bebakaran spesial dan bebakaran madu. Masalah harga, warung ber-tagline Bakar Abiss tersebut memiliki harga terjangkau bagi semua kalangan. Mulai dari pelajar, pelancong bahkan pengusaha. Harga dibandrol mulai tiga ribu rupiah hingga dua puluh ribuan (harga belum termasuk pajak rumah makan).

Makanan di atas meja telah bermigrasi ke dalam perut. Saatnya bercengkrama bersama keluarga sambil menikmati suasana alun-alun utara menjelang malam di bawah lampu antik. Perut kenyang, hati pun senang.

Senja di Alun-alun utara (dok.pri)
Senja di Alun-alun utara (dok.pri)
Salam,

 Dimas


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun