Mohon tunggu...
Dimas Anggoro Saputro
Dimas Anggoro Saputro Mohon Tunggu... Insinyur - Engineer | Content Creator

"Bisa apa saja", begitu orang berkata tentang saya.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Dahar Kembul, Tradisi Makan di Rumah

21 Juli 2017   15:47 Diperbarui: 21 Juli 2017   16:08 2257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hamparan penggugah selera pengundang lapar (dok.pri)

Rumah. Apa yang ada di benak Anda jika diminta untuk mendeskripsikan singkat tentang 'Rumah'? Tempat di mana kita tinggal. Tempat di mana kita kembali. Tempat di mana kita berteduh. Tempat di mana keluarga kita berkumpul, dan sebagainya. Bahkan ada sebuah ungkapan mengatakan,

"Rumahku, istanaku"

Dari kecil hingga besar bahkan telah berkeluarga sendiri, rumah bagi saya adalah tempat di mana saya harus kembali. Seperti, Yogyakarta. Kota yang kini perkembangannya begitu pesat, hampir di segala aspek kehidupan.

Banyak orang bilang, 'Jogja tak seperti yang dulu'. Memang itu benar. Jogja bukanlah yang dulu, Jogja itu ya yang sekarang. Berbenah dari masa ke masa untuk tetap menjadi rumah bagi setiap orang yang menyambanginya bahkan memilih untuk menetap. Saya yakin, khalayak pembaca tidak akan semua setuju dengan saya. 'Ah apaan, Jogja itu macet, sumpek, makan di kaki lima aja mahal, ada klitih, bla bla bla bla'. Oke.., saya bilang khalayak pembaca yang beranggapan seperti itu adalah orang yang kurang beruntung dan kebetulan belum bertemu asiknya Jogja.

Tradisi makan di rumah

Skip tentang Jogja. Saya ingin membahas rumah. Dulu ketika saya masih kecil dan masih satu atap dengan orang tua serta kakak saya, waktu yang paling saya tunggu adalah setelah sholat maghrib atau waktu makan malam. Kenapa? Karena pada waktu itu saya benar-benar merasakan arti sebuah keluarga dalam nuansa makan malam. Ibu dan kakak menyiapkan hidangan makan malam. Makan malam kami bukan di ruang makan dan di atas meja seperti kebanyakan di sinetron-sinetron. Kami makan di ruang tamu sekaligus ruang keluarga dengan beralaskan tikar. Ya, lesehan. Kami memakannya dengan cara bersama-sama, dalam bahasa Jawa disebut dahar kembul. Dengan cara makan seperti itu keintiman keluarga sangat terasa.

Selepas saya melangkahkan kaki meninggalkan rumah orang tua untuk memutuskan mendirikan rumah tangga dan tinggal di tempat yang berbeda, kebiasaan di rumah yang dulu tetap saya bawa. Setelah hampir seharian beraktivitas diluar rumah sekadar mencari nafkah, keinginan utama adalah segera pulang. Pulang ke rumah. Terlebih ketika matahari telah condong ke barat. Kini peran ibu dan kakak digantikan oleh istri tercinta. Dia yang menyiapkan hidangan makan. Mulai dari memasak hingga menyajikan. Cara makannya tetap sama, dahar kembul, lesehan. Meskipun kini dahar kembul hanya berdua.

Ndeso di hotel

Suatu ketika, tepatnya Jum'at (14/07/2017) saya dan beberapa teman menghadiri undangan di sebuah hotel berbintang di Yogyakarta yang cukup terkenal bahkan salah satu hotel legend di Yogyakarta (mungkin). GQ Hotel, itu label nama yang tertera pada hotel tersebut. Setelah memasuki loby hotel, dan bertanya kepada karyawan hotel, diarahkanlah saya menelusuri lorong sayap kanan hotel. Coffe Shop 24hrs, tempat tujuan saya singgah. Sambil menunggu hidangan tersaji, mengabadikan sudut-sudut kafe adalah pilihan tepat menurut saya. Nuansa elegan dan artistik, nampaknya menjadi pilihan penghias ruangan kafe ini. Menikmati secangkir kopi juga menjadi pilihan tepat, mengingat siang itu Jogja masih digelayuti awan mendung. Tak berapa lama, hidangan pun datang.

Penyajian makanan dahar kembul nasi kuning (dok.pri)
Penyajian makanan dahar kembul nasi kuning (dok.pri)
Apa ini?! Makanan beralaskan daun pisang yang terbentang tertata rapi di atasnya. "Apa ini pak?", tanya saya terheran kepada pak Wahyu selaku General Manager GQ Hotel Jogja. "Ini adalah hidangan dahar kembul mas", jawab pak Wahyu. "Lhoh?! Ini kan kafe, di hotel berbintang lagi", potong saya masih terheran. "Betul mas. Ini adalah menu terbaru kami. Dikemas secara tradisional dalam menu hidangan spesial Dahar Kembul. Ada menu nasi kuning, nasi merah, nasi putih gudangan atau urapan dan nasi gudeg. Dan yang tersaji di hadapan jenengan adalah menu nasi kuning. Dan yang di meja sebelah sana adalah nasi putih gudangan atau urapan", jelas pak Wahyu. Pikir saya, saya akan menemui hidangan menu modern di hotel ini di tempat sebuah kafe. Ternyata GQ Hotel Jogja menepis pikiran saya tersebut dengan menghidangkan javanese food dan mencoba mengangkat kearifan lokal Jogja melalui menu hidangan spesial Dahar Kembul.

Menemukan masakan ibu di hotel

Saya membetulkan posisi duduk saya, dan bersiap menikmati hidangan yang telah tersaji di atas meja makan. Hmmm aroma rempah-rempah dari hidangan itu menelusur rongga hidung saya. Kemudian saya terhenyak! Sebentar, sepertinya saya kenal aroma masakan ini. Ingatan menelusur jauh ke dalam mencari dan mencocokan memori aroma itu. Nasi kuning, tempe kering, telur dadar rajang, perkedel, ayam bakar, dan sambal, seketika telah berpindah di atas piring saya. Satu suapan masuk ke dalam mulut saya. Indera pengecap pun bekerja. Bersamaan dengan itu, memori ingatan telah berhasil menemukan datanya. "Ini masakan ibu!", gumam saya dalam hati sambil tetap mengunyah menikmati suapan pertama saya. Lelucon macam apa lagi yang dimainkan oleh GQ Hotel Jogja, gila! Setelah mengejutkan saya dengan menu hidangan yang tak 'umum' seperti hotel kebanyakan, baru saja GQ Hotel Jogja mengejutkan saya dengan menghidangkan masakan ibu. Dahar kembul, masakan ibu, rumah. Seperti di rumah, ya benar!

Sajian nikmat, berselera (dok.pri)
Sajian nikmat, berselera (dok.pri)

Ingin merasakan?

Khalayak pembaca juga bisa merasakan sensasi Dahar Kembul ala GQ Hotel Jogja. Namanya juga dahar kembul atau makan bersama secara beramai-ramai, tentunya harus ada teman untuk menyantap dan menikmati hidangan spesial tersebut. 10 orang per pax, dengan harga Rp 600.000,-, berarti masing-masing membayar Rp 60.000,- (jika memang bisa mengajak 10 orang untuk menyantapnya). Jika pun kurang dari 10 orang, khalayak pembaca tetap bisa menikmati hidangan tersebut, calling saya juga boleh untuk sekadar menemani dan membantu menghabiskan, saya masih di jogja kok (heuheu). Oiya, harga tersebut berlaku untuk kelipatannya ya. Ingat, logika tidak akan berjalan tanpa adanya logistik.

Ludes! (dok.pri)
Ludes! (dok.pri)
Salam ngunyah,

Dimas

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun