Mohon tunggu...
Dimas Anggoro Saputro
Dimas Anggoro Saputro Mohon Tunggu... Insinyur - Engineer | Content Creator

"Bisa apa saja", begitu orang berkata tentang saya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Dampak Korupsi e-KTP: Kita 'Dipaksa' Menanggung

23 Maret 2017   06:15 Diperbarui: 23 Maret 2017   18:00 11028
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumpalan mulut (sumber: garisbebas.com)

Korupsi ibarat penyakit menular yang menjalar pelan namun mematikan, menciptakan kerusakan yang sangat luas di masyarakat. Korupsi merusak demokrasi dan supremasi hukum, mendorong pelanggaran terhadap hak azasi manusia, mendistorsi perekonomian, menurunkan kualitas kehidupan dan memungkinkan organisasi kriminal, terorisme dan berbagai ancaman terhadap keamanan untuk berkembang'. (Kofi A. Anann; UN, 2004).

Kutipan di atas ada benarnya juga. Korupsi tak hanya menciptakan kerugian negara secara materi, tetapi juga menciptakan kerusakan yang sangat luas di masyarakat. Siapa yang menanggung? Kita semua yang akan menanggung, bahkan bisa jadi keturunan kita kelak juga akan menanggungnya.

Tak hanya dipaksa untuk mensubsidi koruptor, kita juga dipaksa untuk menanggung dampaknya dan memperbaikinya. Masih santer terdengar kasus korupsi ‘mega proyek’ E-KTP di telinga kita. Proyek pengadaan E-KTP senilai Rp5,9 triliun dimenangkan oleh konsorsium PT PNRI, mengalahkan PT Astra Graphia yang menawarkan pengadaan Rp6 triliun. Konsorsium PT PNRI terdiri dari Perum PNRI, PT Sucofindo (Persero), PT Sandhipala Arthapura, PT Len Industri (Persero) dan PT Quadra Solution.

Secara materi uang, negara telah dirugikan Rp2,55 triliun. Rp250 miliar telah dikembalikan ke KPK, Rp220 miliar telah dikembalikan korporasi dan Rp30 miliar dikembalikan oleh individu yang sebagian merupakan wakil rakyat dengan jabatan anggota DPR. Nilai Rp2,55 triliun adalah kerugian Keuangan Negara. Lalu bagaimana dengan Perekonomian Negara?

Padahal UU nomor 31 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menyebutkan bahwa: ‘suatu tindakan disebut korupsi jika memenuhi poin bahwa itu merupakan tindak kejahatan, menguntungkan diri sendiri atau pihak lain dan Keuangan Negara/Perekonomian Negara’. Menghitung kerugian Perokonomian Negara dirasa susah.

Menilik Tipikor kembali, UU nomor 31 tentang Pemberantasan Tipikor pasal 12 disebutkan, bahwa ‘denda maksimal untuk pelaku korupsi sebesar Rp1 miliar’. Bagaimana jika korupsinya triliunan seperti kasus E-KTP?? Sisanya, kita yang akan menutupnya.

Dampak Lain

Apakah Anda sudah memiliki E-KTP? Jika belum, silakan segera diurus. Tetapi jangan heran jika nantinya Anda juga belum memiliki E-KTP meskipun sudah mengurusnya dan telah selesai diproses.

Beberapa waktu yang lalu, saya mengurus penggantian E-KTP saya di Kelurahan Purwomartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman. Saya tercengang ketika mendengar pernyataan petugas Kecamatan bahwa E-KTP saya akan ‘jadi’ dalam jangka waktu 3 minggu ke depan. E-KTP saya sebelumnya pun telah ditarik. Kini saya tidak memiliki tanda identitas yang sah di negara saya sendiri. Seperti terkurung dalam ruangan terbuka.

Estimasi waktu 3 minggu tersebut bukannya tak beralasan. “Blangkonya habis”, jawab singkat petugas Kecamatan. Setelah 3 minggu berlalu saya hanya akan mendapatkan Surat Keterangan Pengganti E-KTP, bukan E-KTP. Masa berlaku surat tersebut terbatas, hanya 6 bulan. Lalu bagaimana jika telah memasuki masa kadaluarsa? Saya tak muluk-muluk berandai-andai bisa memegang E-KTP milik saya sendiri.

Selama menjadi penduduk ilegal di negara sendiri, saya tidak bisa bepergian keluar kota/daerah menggunakan alat transportasi umum yang memerlukan E-KTP, seperti naik pesawat dan kereta api. Saya tidak bisa mengurus rekening tabungan saya, baik membuka rekening maupun pengurusan yang lain. Saya tidak bisa melakukan segala kegiatan administrasi yang membutuhkan kartu identitas penduduk yang sah di negara Indonesia. Bisa jadi saya masuk ke Dinas Sosial jika terjaring razia gembel, karena saya gembel.

Semoga hanya saya dan isteri yang merasakan hal serupa.

Harapan

Senin (20/3) lalu, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta mengundang berbagai awak media baik cetak, elektronik dan online, seluruh SKPD serta pegiat komunitas dalam jamuan makan malam di Bangsal Kepatihan. Acara tersebut bertajuk ‘Dialog Gubernur DIY Bersama Netizen’.

Seperti artikel yang telah dirilis oleh Pojok Duta Damai, Gubernur DIY, Sri Sultan HB X meminta para netizen membantu mewujudkan digital goverment service. Visi Sri Sultan HB X menjadikan DIY sebagai Cyber Province di tahun 2019.

Di DIY, kini ada jaringan Masyarakat Digital Jogja yang akrab disebut Masdjo. Kompasianer Jogja merupakan salah satu dari jaringan tersebut. Masyarakat Jogja bahu-membahu mengaminkan visi Ngarso Dalem tersebut. Membantu pemerintah dalam memecahkan masalah sosial.

Dalam kesempatan tersebut, Gubernur DIY juga berharap, SKPD harus berubah dalam pelayanan dan perencanaan. Semoga tidak ada keluhan berarti dari masyarakat mengenai pelayanan SKPD, khususnya di DIY dan pada umumnya di Indonesia.

Semoga langkah netizen Jogja dalam berperilaku positif bermedia sosial dapat menjadi contoh oleh daerah lain dalam membantu pemerintah untuk memecahkan permasalahan sosial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun