Mohon tunggu...
Dimas Anggoro Saputro
Dimas Anggoro Saputro Mohon Tunggu... Insinyur - Engineer | Content Creator

"Bisa apa saja", begitu orang berkata tentang saya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Indahnya Jika

28 Juni 2016   00:10 Diperbarui: 28 Juni 2016   00:20 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbicara tentang agama. Sesuatu yang sensitif. Mungkin jika di negara saya, Indonesia. Saya bukanlah pemuka agama. Ilmu saya tentang agama pun masih cetek. Saya juga orang yang masih sesat, buktinya saya masih menjalankan sholat 5 waktu. Kewajiban ibadah saya sebagai seorang muslim. Agama yang saya anut adalah agama turunan dari orang tua saya. Bahkan dari nenek moyang saya. Sejak lahir saya telah memeluk agama Islam. Saya pun beranjak dewasa, saya sudah bisa memilih. Saya tetap memilih Islam sebagai agama saya. Ya, saya seorang muslim.

Saya hanya ingin berbagi sesuatu. Bukan mau ceramah. Ini merupakan kegundahan, kesedihan hati dan akhirnya saya gusar. Beberapa minggu yang lalu, mungkin masih hangat dibicarakan. Ada peristiwa mengenai penertiban sebuah warung makan kecil di daerah Serang. Anda pasti tau lah berita yang heboh itu. Penjaga warung sekaligus pemilik warungnya adalah seorang Ibu paruh baya. Yang menertibkan, adalah seorang anak yang mempunyai Ibu dan dilahirkan dari rahim Ibunya. Tapi perlakuan mereka terhadap Ibu itu sungguh-sungguh terjadi dan sungguh terlalu menurut saya. Tak ingatkah mereka itu kepada Ibu mereka? Tak punya rasa kah mereka? Mengatas namakan penegakkan hukum, demi keadilan. Hukum mana? Keadilan yang bagaimana?

Saya teringat dengan salah satu film favorit saya. Film yang dibuat dari novel tulisan mbak Hanum Salsabiela Rais. Cerita berdasarkan pengalaman pribadinya dengan suaminya mas Rangga Almahendra, kalo sekarang saya memanggilnya pak Dosen kali ya (hehe). Dalam novelnya berjudul ‘99 Cahaya Di Langit Eropa’. Didalamnya ada pelajaran dan makna mendalam mengenai toleransi. Ya, toleransi umat beragama. Singkat cerita, Hanum bertemu dengan Fatma dan anaknya Ayse. Yang mana pertemuan itu membuat Hanum tak bosan untuk tinggal di Eropa menemani sang suami yang sedang menempuh pendidikannya. Fatma dan Ayse mengenalkan sejarah peradaban Islam di Eropa.

Suatu hari, Hanum diajak makan di sebuah restoran oleh Fatma seusai mereka jalan-jalan. Hanum merasa kesal sekali kepada dua orang pelanggan yang sedang makan di salah satu bangku restoran. Hanum tak sengaja mendengar percakapan kedua orang tersebut, yang kebetulan kedua orang tersebut bukanlah muslim. Hanum mengerti isi percakapan mereka. Percakapan mereka mengolok-olok orang Turki yang notebene adalah orang Islam. Fatma pun menahan Hanum yang hendak beranjak dari tempat duduknya menghampiri kedua orang  tersebut. Kemudian Fatma memanggil seorang pelayan restoran tersebut. Dia menuliskan sesuatu pada selembar kertas, kemudian menyerahkan kepada pelayan tersebut beserta sejumlah uang. Ketika kedua orang itu hendak membayar tagihan makanan mereka ke kasir, kasir bilang kepadanya bahwa tagihan mereka telah dibayarkan. Kedua orang itu pun heran penuh tanya. Kemudian kasir itu menerangkan siapa yang membayar dan memberikan secarik kertas kepada kedua orang  tersebut, yang isinya kurang lebih : “Hai. Nama saya Fatma. Saya seorang muslim. Selamat menikmati makanan Anda.” Sontak kedua orang itu kaget.

Hari demi hari dilewati Hanum di Eropa, berikut dengan petualangannya menjelajahi Eropa. Menjelajahi peradaban Islam di Eropa. Tujuan akhir penjelajahan Hanum serta impiannya adalah ke Cordoba. Perjalanannya ke Cordoba semakin membuatnya kagum dan bangga menjadi seorang muslim. Tapi perjalanan itu dia lalui tidak bersama Fatma maupun Ayse. Karena sudah ratusan surel yang dikirim Hanum kepada Fatma, tak ada satu pun yang di balas olehnya. Hingga pada akhirnya suami Hanum telah selesai menempuh pendidikan di Eropa. Dan mereka berdua berencana pulang ke negara asalnya, Indonesia. Sebelum pulang, Hanum dikagetkan dengan sebuah surel yang masuk dalam pesan masuknya. Ya, surel dari Fatma. Fatma meminta Hanum untuk ke Turki, menyambanginya. Akhirnya Hanum dan suami bertandang ke Istanbul, Turki. Kampung halaman Fatma.

Sesampainya di Istanbul, Hanum dan suami bertemu dengan Fatma di lokasi yang telah mereka sepakati sebelumnya. Namun kali ini Fatma seorang diri. Hanum pun seketika bertanya keberadaan Ayse, anak Fatma. Fatma memberitahukan bahwa Ayse telah tiada, setelah sekian lama penyakit kanker yang menderanya. Sontak Hanum dan Rangga kaget mendengar kabar tersebut. Fatma pun tak mau merusak suasana dan membawa Hanum terhanyut lebih dalam akan kesedihan mendengar berita tentang Ayse. Langsung saja Fatma membawa Hanum dan suaminya menuju Hagia Shopia. Hagia Shopia dibangun sekitar 8 abad yang lalu sebagai Katedral. Bangunan itu adalah bangunan yang istimewa. Karena bangunan tersebut adalah saksi dimana keberagaman agama dapat bersanding secara harmonis dalam satu tempat.

Dari situ pun Hanum tersadar bahwa, ternyata dugaannya selama ini salah. Awalnya dia menduga bahwa kaum non-muslim telah mengambil hak-hak orang muslim. Dengan membuat masjid-masjid menjadi sebuah katedral. Pandangan dan pemikiran Hanum pun kini terbuka. Bahwa sesungguhnya hidup beragama ini indah jika menjunjung tinggi toleransi. Saling menghargai dan menghormati satu sama lain.

Saya pun merasakan hal yang serupa. Mengecam pendidikan tinggi di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta. Berada di dalam miniatur Indonesia. Semua terwakili oleh orang-orang dari berbagai daerah di Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke. Menjadi seorang civitas akademika dan aktivis kampus bukanlah hal yang mudah. Mungkin itu bagi beberapa orang. Tapi tidak bagi saya. Karena saya senang dengan lingkungan saya dan apa yang saya lakukan. Tak terasa Ramadan hampir usai. Menjalani ibadah puasa di bulan Ramadan adalah kewajiban saya sebagai seorang muslim. Di dalam miniatur Indonesia ini, saya merasakan toleransi beragama yang sangat luar biasa, bahkan di luar dugaan saya. Melihat orang bermain asap di mulutnya, bahkan makan dan minum di siang bolong, bagi saya adalah hal yang biasa. Apalagi di kampus.

Ada beberapa teman saya, dia orang non-muslim. Suatu ketika di malam awal puasa, dia berkata kepada saya seperti ini : “Kakak su makan kah? (Kakak sudah makan?) Tidak sahur?”, kental dengan logat timur, Papua. “Oiya saya hampir lupa. Terima kasih sudah diingatkan.”, sahut saya. “Istirahat dulu to, lanjut nanti lagi Kakak. Mari sa temani Kakak makan sahur.”

Dia tidak wajib berpuasa, tapi dia ikut berpuasa. Dia bilang dia ingin menghormati orang yang berpuasa. Deg. Hati ini kaget rasanya. Saya terangkan kepada dia bahwa dia tidak perlu melakukan itu. Saya juga bilang bahwa saya sangat berterima kasih karena dia sudah mau menghormati orang yang berpuasa. Saya juga bilang, kalo dia mau merokok, makan atupun minum, ya lakukan saja. Menurut saya tak masalah jika dia lakukan itu di depan saya, di depan orang yang sedang berpuasa. Toh saya sudah niat berpuasa, tentu saja saya tidaklah tergoda maupun terganggu dengannya.

Saya berpuasa di bulan Ramadan, ya itu adalah kewajiban saya sebagai umat muslim. Tak lantas saya melarang orang melakukan makan, minum maupun merokok di depan saya. Dia tidak berpuasa kok, terserah dia. Ya kalo saya tau dia non-muslim, ya saya biarkan saja. Jika dia seorang muslim, saya akan mengingatkannya, karena itu kewajiban sesama muslim untuk saling mengingatkan. Orang non-muslim sudah menghormati dan menghargai saya ketika saya berpuasa, bahkan dia ikut berpuasa. Sudah sepatutnya saya juga menghormati dan menghargainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun