Mohon tunggu...
Dimas Anggoro Saputro
Dimas Anggoro Saputro Mohon Tunggu... Insinyur - Engineer | Content Creator

"Bisa apa saja", begitu orang berkata tentang saya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Petapa Genit Turun Gunung (Ketika Turun ke Jalan Adalah Sebuah Pilihan)

25 Mei 2016   22:37 Diperbarui: 25 Mei 2016   23:00 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menuju depan gedung rektorat (sumber: dok. pribadi)

“Apakah Anda termasuk masyarakat yang memiliki toleransi tinggi?”, kalimat penutup pada artikel saya sebelumnya.

Kali ini pertanyaan itu kembali saya tujukan kepada Anda pembaca budiman.

Ini adalah sambungan dari artikel saya yang sebelumnya, seperti yang telah saya janjikan kepada Anda. Masih dalam perjalan yang sama, hari yang sama. Namun dengan waktu yang berbeda.

Saya laju kendaraan saya di jalanan Ring Road Utara selepas dari kemacetan lalu lintas yang direncanakan. Perhatian berkendara saya seketika teralihkan sebelum mencapai persimpangan empat UPN “Veteran”. Kerumunan pakaian hijau memadati jalur lambat di seberang sana. Segera saya hidupkan lampu sein kiri si Megi, saya menepi dan memarkirkan kuda besi di depan ruko-ruko yang masih dalam kondisi tutup. Entah belum waktunya buka atau memang masih tutup karena mungkin si pemilik beranggapan masih dalam suasana longweekend.

Kerumunan pakaian hijau itu adalah para mahasiswa/i salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Yogyakarta yang sedang melakukan aksi turun ke jalan. Ya, demonstrasi. Kerumunan itu sempat membuat lumpuh jalur lambat Ring Road Utara (arah ke barat).

Masih hangat mengenai aksi serupa yang dilakukan oleh mahasiswa/i salah satu PTN lain di Yogyakarta. Entah ini memang lagi ngehits atau masa kebangkitan kembali para “aktivis” dari masa hibernasinya.

Bergegas saya menuju seberang jalan, tanpa menghiraukan aspal berstrip-strip putih. Apa yang saya lakukan adalah salah saat menyebrang, saya telah melakukan pelanggaran, menurut saya. Jangan Anda meniru perbuatan buruk tersebut. Sesampainya di seberang, segera ku ambil smartphone yang ada didalam kantong celanaku. Smartphone pemberian dari kakak tercintaku. Teriak dikit jepret, gerak dikit jepret, teriak dan gerak banyak jepret jepret jepret pret pret.

Menuju depan gedung rektorat (sumber: dok. pribadi)
Menuju depan gedung rektorat (sumber: dok. pribadi)
Saya memberanikan diri untuk menghampiri orang diluar jalur kerumunan tersebut. Untuk mengobati rasa penasaran saya tentunya. Saya bertanya mengenai tuntutan mereka dalam aksi tersebut. Sayang sekali, yang saya mintai keterangan adalah anak adam, to the point ajalah, jadi ya no modus! Dikeluarkannya smartphone dari jas almamater hijau yang ia kenakan. Kemudian dia membuka aplikasi sosial media Line. Mereka membuat grup dalam sosmed tersebut sebelum melakukan aksi turun ke jalan, mungkin untuk berkoordinasi dan menghimpun masa maupun suara. Tebakku tanpa pikir panjang. Dia menunjukkan poin-poin tuntutan atas aksi yang mereka lakukan.

Pesan dalam obrolan grup tersebut berisikan tuntutan aksi yang mereka lakukan. Isi tuntutan tersebut adalah (edited):

  1. Tidak adanya demokratisasi kampus.
  2. Terjadinya pungutan liar mahasiswa 2015 serta tidak adanya transparansi BKT/UKT mahasiswa 2015 yang sangat jelas menyimpang dari amanat Permenristek 22 tahun 2015.
  3. Mutu pelayanan pendidikan yang kurang maksimal, baik itu fasilitas maupun tenaga pendidik serta kurangnya kesejahteraan dosen dan pegawai “salah satu PTN” Yogyakarta.
  4. Terjadinya intervensi OK dan UKM oleh birokrasi dengan diberlakukannya Pokok-pokok Kemahasiswaan, dimana salah satu bentuk intervensinya ialah pimpinan OK/UKM harus memiliki IPK 3.00, untuk anggota minimal IPK 2.75 dan syarat-syarat seperti itu tak tertuang dalam AD/ART KM “salah satu PTN” Yogyakarta. Sangat jelas itu menyimpang dari amanat Permendikbud 155/U/1998. Dimana bunyi Pasal 2 dari Permendikbud itu ialah: “Organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi diselenggarakan berdasarkan prinsip dari, oleh dan untuk mahasiswa dengan memberikan peranan dan keleluasaan lebih besar kepada mahasiswa.”. Jadi jelas OK dan UKM tidak boleh diintervensi.
  5. Dukung penuh atau berikan solusi terkait kegiatan kaderisasi dan pelepasan wisudawan-wisudawati mahasiswa “salah satu PTN” Yogyakarta.

“Jika masih banyak tuntutan yang belum termasuk dari kelima poin diatas silakan datang suarakan bersama-sama.”. Begitulah bunyi kalimat penutup pada pesan obrolan dalam grup Line tersebut.

Saya yakin, masyarakat saat ini adalah masyarakat yang cerdas. Yang tak mudah langsung percaya dengan pemberitaan di media-media masa. Baik cetak maupun elektronik. Memang berita aksi turun ke jalan mahasiswa di Indonesia adalah berita yang sangat renyah untuk di konsumsi. Apalagi aksi tersebut hingga berujung bentrok. Jika masyarakat lebih condong menyukai berita-berita semacam itu, maka berita yang akan ada di media cetak dan elektronik tidak akan pernah berbobot apalagi mendidik. Karena hanya rating yang dikejar demi keberlangsungan hidup media tersebut. Menurut saya. Setahu saya, suara media adalah suara kejujuran, yang dengan ikhlas memberitakan kepada masyarakat luas. Dengan harapan masyarakat mengetahui keadaan faktual disekitar mereka. Tentu saja tanpa bumbu-bumbu propanganda, kemunafikan dan segala jenis unsur negatif.

Orasi di depan gedung rektorat (sumber: dok.pribadi)
Orasi di depan gedung rektorat (sumber: dok.pribadi)
Menyerukandan meneriakan kebenaran adalah kewajiban kita sebagai manusia yang berakhlak.Waktu terus berputar, jam terus berdentang, tentu saja jaman telah berubah dariwaktu ke waktu. Saya mendapatkan pelajaran dari salah satu video di youtube yang saya tonton semalam. Bahwa kita memang pintar untuk melihat dan menganalisa. Lalu, apa Anda punya gagasan dari permasalahan yang ada di bangsa Anda sendiri? Apakah Anda akan menjawab: “Apa yang bisa saya lakukan?! Semua sudah menjamur, bahkan kanker stadium 4! Saya sadar ‘siapa saya’, saya hanyalah masyarakat biasa yang tak punya kekuatan seperti para penguasa.”

Ingatkah Anda dengan pepatah: ‘Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit.’? Pepatah yang anak SD pun hafal betul. “Terkadang kita membutuhkan abdi-abdi kecil yang di pimpin oleh abdi kecil lainnya, yang nantinya akan menjadi abdi yang besar. Lalu siapakah abdi kecil itu?” Semoga Anda termasuk abdi kecil itu, yang masih peduli akan nasib bangsa yang diwariskan oleh nenek moyang kita. Warisan dengan cita-cita luhur, yaitu “MERDEKA”.

Tulisan artikel saya ini berdasarkan pengalaman nyata saya pribadi. Isi konten dalam tulisan ini tidak bermaksud menjelek-jelekan pihak manapun. Silakan Anda menjadi cerdas dalam memilih dan menyikapi segala berita dan fenomena yang ada di sekitar Anda masing-masing. Setiap perjalanan pasti punya cerita.

Tamat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun