Kerumunan positif (sumber:dok.pribadi)
Tanggal 30 April 2016 saya diajak dolan (main) oleh sedulur saya Arif Lukman Hakim ke Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Latar belakang saya bukan berasal dari seorang ekonom, tapi saya adalah seorang engineer. Tapi saya sangat tertarik dan senang sekali untuk diajak dolan dan berkerumun positif. Pada hari itu kami bersama beberapa teman Kompasianer dan teman-teman dari institusi lain membicarakan tentang Korupsi. Bagaimana saya tak penasaran dan tertarik, ajakan dari sedulur saya itu melalui pesan Whatsapp berjudul “Mengapa Rakyat (DIPAKSA) Menyubsidi Koruptor?”. Kalau Anda jadi saya, pasti Anda juga akan penasaran bukan?
Sebelumnya, perkenankan saya memanggil para pembaca sekalian dengan sebutan Lur (berasal dari kata Sedulur dalam Bahasa Jawa, yang berarti Saudara dalam Bahasa Indonesia) biar lebih akrab (hehe). Singkat cerita, belum selesai pemaparan dari Bapak Rimawan Pradiptyo, Ph.D. (salah satu dosen FEB UGM Yogyakarta dan Penanggung Jawab website www.cegahkorupsi.feb.ugm.ac.id) saya pun dibuat tercengang dan hanya bisa mantuk-mantuk (ngangguk-ngangguk) dengan bentuk mulut ‘O’. Korupsi tak melulu tentang uang Lur, kita pun pasti semua pernah korupsi. Korupsi waktu misalnya. Tapi kali ini saya akan membicarakan korupsi tentang materil atau uang Lur.
‘Korupsi ibarat penyakit menular yang menjalar pelan namun mematikan, menciptakan kerusakan yang sangat luas di masyarakat. Korupsi merusak demokrasi dan supremasi hukum, mendorong pelanggaran terhadap hak azasi manusia, mendistorsi perekonomian, menurunkan kualitas kehidupan dan memungkinkan organisasi kriminal, terorisme dan berbagai ancaman terhadap keamanan untuk berkembang.’ (Kofi A. Anann; UN, 2004).
Sepengetahuan saya selama ini tentang koruptor adalah mereka yang melakukan tindak kejahatan korupsi, diperiksa oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan ditangkap oleh KPK sambil melambaikan tangan dan tersenyum lebar di depan kamera bak artis papan atas turun dari panggung mega konsernya, diserahkan ke pihak yang berwenang (Polisi) untuk selanjutnya diproses secara hukum, diadili sesuai hukum yang berlaku di Indonesia, di jatuhi hukuman dan denda atas perbuatan korupsinya, akhirnya menginap di hotel prodeo. Template yang saya ketahui selama ini cuma itu saja, dan setelah itu saya masa bodoh. Mau dia di denda berapa juta bahkan milyar kek, di penjara berapa tahun kek, di dalem penjara kayak di hotel bintang lima kek, dan masih banyak kek-kek lainnya.
Sering dongkol juga kalau melihat berita tentang koruptor yang sudah dipenjara tapi bagaikan tak berada di dalam bui. Anda juga pasti dongkol kan Lur kalau tau berita semacam itu? Seluruh umpatan pasti kita kerahkan ke mereka, sampai nama-nama hewan di Taman Safari kita hafal.
Apa hukum di negara ini tidak menjerakan dan hanya memenjarakan? Tapi saya bisa apa Lur?
Saya hanya bisa memberikan informasi ini kepada Anda sekalian Lur. Bahwasannya ternyata secara tidak sadar selama ini kita (DIPAKSA) menyubsidi para koruptor Lur! Loh kok bisa??! Gini Lur, Anda pasti tau kalau koruptor itu akan dituntut membayar sejumlah uang denda/uang pengganti atas tindak korupsinya kepada negara. Kalau kita menilik UU nomor 31 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), suatu tindakan disebut korupsi jika memenuhi poin bahwa itu merupakan tindak kejahatan, menguntungkan diri sendiri atau pihak lain dan Keuangan Negara rugi/Perekonomian Negara rugi. Namun aplikasi hukum yang ada selama ini di negara kita adalah Keuangan Negara rugi, dengan menafikkan Perekonomian Negara rugi. Karena apa, karena dirasa susah kalau menghitung Perekonomian Negara.
Padahal kita punya banyak pakar di bidang perkonomian yang memang pekerjaannya adalah berjibaku dengan perekonomian. Kalau saja mereka dimintai untuk menghitung Perekonomian Negara pastilah tidak menjadi soal yang susah bagi mereka bukan? Sedangkan di UU nomor 31 tentang Pemberantasan Tipikor pasal 12 disebutkan bahwa denda maksimal untuk pelaku korupsi sebesar 1 Milyar. Kalau korupsinya lebih dari 1 Milyar bagaimana Lur? Jaksa dan Hakim juga belum tentu menuntut/menjatuhkan hukuman pembayaran uang pengganti sebesar jumlah uang yang di korupsi. Misal korupsi 3 M nih, maka denda maksimalnya ya 1 M saja. Kalau menurut logikaku ya Lur, uang pengganti harus dibayarkan sesuai dengan jumlah uang yang dia (koruptor) tilep.