Mohon tunggu...
Dimas Anggaru Pratama
Dimas Anggaru Pratama Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar yang haus ilmu

Mahasiswa UPN Veteran Yogyakarta. Suka Beda Sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Asa Petani Tembakau untuk 3 Bacapres

16 Oktober 2023   21:00 Diperbarui: 16 Oktober 2023   21:07 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secangkir teh manis dan kopi tersaji di depan saya dan Tasrif sekitar awal September lalu. Saat saya sedang berkunjung 'pelesiran' ke Lamongan, Jawa Timur. Tasrif seorang petani tembakau di Lamongan yang perjumpaan saya dengannya secara tidak sengaja.

Mentari mulai memerah berkilau siap turun ke peraduannya. Hari makin sore, namun Tasrif masih asyik menceritakan jalan hidupnya sebagai petani tembakau. Kisah terus mengalir di teras rumah berlantai semen, namun cukup bersih.

"Saya sekitar 35 tahunan sudah jadi petani tembakau, Mas. Bertani tembakau ini menjadi pekerjaan turun temurun dari orang tua saya. Tetapi dari bertani tembakau inilah saya bisa sekolahkan 2 anak saya hingga lulus SMA,  sedangkan yang 1 lagi masih kelas 9 SMP. Bertani tembakau mampu memenuhi tanggung jawab saya memberi makan keluarga," ujar Tasrif yang usianya telah berkisar 60 tahunan kepada saya.

"Bahkan dari dulu saya tidak pernah terjerat utang ke rentenir, Mas. Semua karena usaha bertani tembakau saya kerjakan. Alhamdulillah, istri saya masih bisa beli baju bagus dan anak-anak dari dulu tidak pernah kekurangan jajan di sekolah, hehehe," kata Tasrif sambil terkekeh.

Hebat Tasrif. Meski petani tembakau namun anaknya mampu bersekolah semua. Jenjang pendidikan anaknya melebihi bapaknya yang hanya sampai kelas 4 SD dan ibunya berhenti setelah lulus SD.

Bahkan Tasrif tidak pernah terjerat utang ke rentenir sejak dulu. Ia pun mengaku tetap bisa membelikan baju baru sesekali ke istrinya.

Bertani tembakau membuat kehidupan keluarga Tasrif cukup baik. Bahkan tidak dipungkirinya jika bertani tembakau merupakan profesi dari dulu warisan orang tuanya.

"Hanya saja, Mas, kalau bisa kedepannya siapa yang menjadi Presiden Indonesia lebih bisa memperbaiki taraf hidup para petani tembakau lagi. Kami, para petani tembakau, semoga bisa dapat perhatian yang lebih dari Presiden Indonesia selanjutnya. Banyak warga desa di sini yang mengandalkan bertani tembakau sebagai pencarian ekonominya," kata Tasrif lagi.

Bertani tembakau menjadi sumber pendapatan ekonomi. Saya tergelitik dengan pernyataan Tasrif. Rasa penasaran saya muncul, padahal selama ini tidak antusias dengan isu Industri Hasil Tembakau (IHT).

Ternyata memang benar diungkapkan Tasrif. Ada jutaan pekerja di Indonesia yang menaruh harapan besar penghasilan ekonominya dari IHT. Mereka mulai dari petani tembakau, pekerja pabrikan, tenaga ahli, distributor pemasaran, hingga para penjual rokok di warung.

Mereka semua berharap IHT tetap dapat menyejahterakan dan menjaga keberlangsungan pekerjaannya. Bagi jutaan orang yang masuk dalam sub-sektor IHT, siapa saja Presiden Indonesia berikutnya asalkan berani meningkatkan kelayakan hidupnya dan memberi kebijakan terbaik bagi sektor tembakau di Tanah Air.

Jutaan orang dalam IHT itu hanya ingin mereka tetap bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai jenjang pendidikan tertinggi. Jutaan orang dalam IHT itu cuma ingin tetap dapat membeli lauk pauk untuk sehari-hari. Mereka hanya meminta terciptanya kebijakan yang adil dan berimbang bagi industri tembakau di Indonesia.

Saya merasa alasan jutaan orang yang dapat diserap dalam IHT tersebut cukup masuk akal. Pasalnya dari IHT mampu berkontribusi besar bagi penerimaan APBN. Rata-rata setiap tahunnya mencapai 11%-13% untuk APBN.

Kondisi itu kiranya perlu menjadi perhatian para Bakal Calon Presiden (Bacapres) yang akan berkontestasi dalam Pemilihan Presiden 2024. Semua Bacapres--Anies Baswedan, Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo---perlu mencermati kontribusi besar IHT bagi ekonomi negara.

Mengacuhkan keberadaan IHT sama saja sudah selangkah membuat ekonomi Indonesia tiarap. Dan menurut saya, sebaiknya tiga Bacapres yang muncul saat ini tidak berbuat seperti itu.

Seluruh Bacapres harus menyadari ada petani di desa yang secara turun-temurun sudah mengakar keluarganya mencari nafkah dari pertanian tembakau. Ada ibu-ibu yang menjadi pekerja pabrikan rokok demi tetap dapat menyekolahkan anaknya. Ada pedagang di warung-warung kecil yang menjual hasil olahan tembakau (rokok) demi dapat menyambung kehidupan keluarganya. Mereka semua itu berharap IHT  tidak diabaikan.

Kepekaan itulah yang harus dibangun para Bacapres --Anies Baswedan, Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo---terhadap sub-sektor IHT. Semoga, siapa saja yang terpilih nanti dapat mewujudkan kebijakan terbaik bagi IHT dan jutaan orang yang bekerja di dalamnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun