Seorang pengamat kebijakan publik nasional dalam sebuah artikel beberapa waktu lalu menyampaikan, salah satu produk air minum dalam kemasan di Indonesia sedang menghadapi serangan pemberitaan negatif yang dilaksanakan secara masif dan terorganisir oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Jika sinyalemen tersebut betul, upaya-upaya seperti ini tentunya dapat dikategorikan sebagai bentuk persekusi akibat persaingan dagang yang tidak etis dan sangat tidak layak untuk dilakukan.
Persoalan yang dihadapi produk air minum dalam kemasan tersebut sejatinya mirip sekali dengan yang dialami susu kental manis (SKM). Entah angin apa yang membuat isu SKM juga tiba-tiba menghangat. Dalam enam bulan terakhir, berbagai pemberitaan maupun aktivitas yang "menyerang" secara terbuka keberadaan produk ini seolah tak ada habisnya.
Tak ayal, perang opini di media pun bersliweran dan saling bersahutan. Ada yang pro dan kontra terhadap SKM. Tercatat selama periode Juli sampai akhir November 2017, terdapat lebih dari 270 berita negatif mengenai SKM. Ini belum termasuk serangan melalui media sosial serta acara seminar atau diskusi terbatas.
Sepintas tak ada yang aneh dari berbagai aktivitas itu. Namun jika ditelisik lebih dalam, aroma persaingan usaha dari kampanye negatif SKM begitu "kental" terasa. Sejumlah data dan informasi memperkuat dugaan tersebut.
Paling tidak ada tiga hal yang menjurus persaingan usaha berada di balik kampanye negatif terhadap SKM. Pertama, berbagai premis negatif mengenai SKM datang secara masif, sistematis dan terstruktur.
Pemilihan sudut pandang (angle) dan pola serangan hampir sama dan saling terkait. Angle utama yang dihembuskan adalah bahwa SKM bukanlah susu karena mengandung gula yang tinggi dan juga iklan yang disusun oleh produsen dianggap menyesatkan karena diarahkan kepada anak-anak. Akibatnya, terbentuk opini SKM tidak aman/layak dikonsumsi anak-anak.
Padahal, Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Nomor 21 Tahun 2016 tentang Kategori Pangan sudah jelas menyebutkan SKM termasuk susu dan masuk kategori pangan 01.3.1 (http://jdih.pom.go.id). Di sana disebutkan SKM adalah produk susu berbentuk cairan kental yang diperoleh dengan menghilangkan sebagian air dari campuran susu dan gula hingga mencapai tingkat kepekatan tertentu; atau merupakan hasil rekonstitusi susu bubuk dengan penambahan gula, dengan atau tanpa penambahan bahan lain.
Gula yang ditambahkan harus dapat mencegah pembusukan. Produk dikemas secara kedap (hermetis) dan dipasteurisasi. Untuk SKM di Indonesia sendiri telah diatur berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) dan juga Codex Stan 282-1971.
Berbagai ketentuan itu adalah penyempurnaan sekaligus penegasan dari Peraturan BPOM Nomor 1 Tahun 2015 (http://bit.ly/2A8QXnj) dan Keputusan Kepala BPOM Nomor HK.00.05.52.4040 tahun 2006. (http://bit.ly/2jtKeBx). Dua peraturan terakhir juga menata Kategori Pangan. Melihat perjalanan panjang munculnya berbagai aturan tersebut, tentu sangat mengherankan jika keberadaan SKM baru diributkan sekarang.
Kejanggalan kedua yang menguatkan dugaan persaingan usaha dibalik polemik SKM adalah tuduhan bahwa produk ini menjadi penyebab utama timbulnya berbagai penyakit seperti obesitas dengan risiko diabetes, serta penyakit kardiovaskuler. Sulit rasanya memastikan bahwa SKM sebagai penyebab utama munculnya berbagai risiko tersebut.
Padahal, di Indonesia ada banyak makanan lain yang juga mengandung gula cukup tinggi. Anehnya, mereka sama sekali tidak dipersoalkan. Belum lagi sejumlah pakar nutrisi yang menegaskan persoalan penyakit terkait gula muncul akibat gizi dan asupan yang tidak seimbang serta gaya hidup masyarakat yang kurang gerak (sedentari).Â