Arifin misalnya. Sangat tidak logis sekaligus memaksa ketika ia bisa beraktivitas normal, padahal beberapa jam sebelumnya analis BMKG ini masih tenggelam di lantai basement tempatnya memarkir kendaraan. Hal serupa terjadi ketika ia mampu kembali bekerja dengan penuh energi tidak lama setelah dirinya diselamatkan oleh tim SAR akibat kecelakaan saat bertugas.
Kedua tokoh utama, Addri dan Arifin, sama-sama memiliki konflik eksternal dan internal.
Addri dituntut siaga menyelamatkan warga yang menjadi korban bencana, di sisi lain ia juga harus membagi perhatian kepada keluarganya yang juga butuh pertolongan. Setali tiga uang, Arifin mesti menemukan analisis yang tepat terkait sebab dan akibat bencana besar yang menghantui Jakarta. Di lain kesempatan, ia juga dituntut menyelesaikan masalah pribadinya dengan Denanda.
Sekilas, konflik yang melanda dua tokoh tersebut menjadi bumbu penyedap yang menarik terhadap keberlangsungan cerita. Sayang, hal itu tidak diimbangi oleh naskah dan dialog yang kuat. Yang terjadi justru para tokoh kerap bersilat lidah dengan dialog yang cenderung monoton dan memaksa.
Untuk urusan visual, dengan biaya produksi lebih dari 12 miliar rupiah, publik tentu berharap mendapat penggambaran rinci terkait tenggelamnya kota Jakarta akibat bencana alam. Namun, membandingkan kualitas visualnya dengan film bergenre serupa seperti 2012 atau The Day After Tomorrow adalah sebuah kesalahan. Film ini jelas masih dalam level awal.
Pada kenyataannya, kualitas efek visual film Bangkit! jelas belum sepenuhnya sempurna. Meski begitu, secara keseluruhan, visualisasi yang coba ditampilkan dalam film tersebut cukup memberikan rasa tegang bagi para penontonnya.
Sekuen ketika gempa bumi berlangsung bisa disebut sebagai bagian terbaik dalam film ini. Adegan runtuhnya gedung-gedung dan jembatan mampu meninggalkan kesan ngeri sekaligus takjub terhadap kedahsyatan gempa, terlepas dari belum sempurnanya efek CGI yang diberikan.
Pada akhirnya, inisiatif Rako Prijanto untuk menjadi pelopor lahirnya film bergenre action disaster patut mendapat apresiasi, meski harus diakui bahwa sebenarnya saat ini popularitas dan kualitas genre tersebut sedang mengalami penurunan di level internasional.
Terlepas dari belum sempurnanya efek visual yang digunakan, setidaknya film Bangkit! masih bisa menampilkan secara epik pemandangan dahsyat sekaligus mengerikan terhadap bencana alam yang melanda kawasan ibu kota.
Namun, sangat disayangkan hal itu tidak dibarengi dengan elemen cerita yang kuat. Penyampaian cerita yang terburu-buru, terlalu memaksa, hingga kerap menyimpang dari logika menjadi lubang besar yang mempengaruhi kualitas film tersebut.
Rating: 6/10Â