Berdasarkan hasil dari 4010 swaperiksa, sebanyak 64.8% dari pengguna Swaperiksa PDSKJI mengalami masalah psikologis dengan komposisi secara jender 71% wanita dan 29% pria dengan kelompok umur yang paling banyak mengalami masalah psikologis adalah 17-29 tahun dan 60> (PDSKJI 2020). Menurut sumber yang sama, diterangkan bahwa tiga masalah psikologis terbesar yang dialami adalah cemas sebanyak 65% dari responden, depresi sebanyak 62% dari responden, dan trauma sebanyak 75% dari responden. Selain itu, tiga wilayah responden terbanyak secara turut-berturut adalah Jawa Barat (26.7%), DKI Jakarta (21.5%), dan Jawa Tengah (15.5%).
Khusus untuk depresi itu sendiri, dalam artikel lain dijelaskan bahwa terdapat empat faktor risiko utama depresi sebagai akibat dari pandemi COVID-19 (Winurini 2020). Yaitu faktor jarak dan isolasi sosial, resesi ekonomi akibat COVID-19, stress dan trauma pada tenaga kesehatan, dan stigma dan diskriminasi. Dari penjelasan data di atas mengenai jumlah masyarakat yang mengalami gejala-gejala psikologis seperti cemas, depresi, dan trauma dapat dikatakan bahwa pelayanan kesehatan mental sangat diperlukan untuk menjaga kesehatan mental masyarakat itu sendiri, apalagi dalam kondisi pandemi COVID-19.
Di dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 (Fanuel and Tapiomas 2006) yang berbunyi “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan” disebutkan bahwa setiap orang Indonesia berhak untuk mendapatkan kesejahteraan lahir dan batin, tempat tinggal dan lingkungan hidup yang baik, dan memperoleh pelayanan kesehatan. Memperoleh pelayanan kesehatan di sini, selain merupakan salah satu isi dari UUD 1945, juga merupakan hak dasar dari seorang manusia.
Indonesia memiliki suatu undang-undang tersendiri terkait kesehatan jiwa, yaitu UU No.18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa. Menurut Pasal 1 nomor 1 UU No.18 Tahun 2014 (Republik Indonesia 2014), kesehatan jiwa adalah “kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.”
Menurut penjelasan umum atas UU No.18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa, diterangkan bahwa undang-undang ini adalah bentuk jaminan akan tujuan pembangunan kesehatan yang setinggi-tingginya dan untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan berbagai upaya kesehatan termasuk upaya kesehatan jiwa melalui pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa adanya undang-undang ini dilatarbelakangi oleh belum optimalnya pelayanan kesehatan jiwa bagi setiap orang, Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK), dan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Apakah yang dimaksud dengan ODMK dan ODGJ? ODMK adalah (Handoyo 2020) orang yang memiliki masalah kejiwaan namun masih dapat beraktivitas seperti biasa, meski merasa tidak nyaman. Sedangkan, untuk ODGJ adalah orang yang mengalami masalah kejiwaan tetapi sudah memengaruhi aktivitasnya sehari-sehari sehingga menurunkan produktivitas hidupnya dan memerlukan pengobatan lebih lanjut.
ODMK dan ODGJ sering kali terabaikan, baik secara sosial maupun hukum. Belum lagi ODGJ dan ODMK masih mendapat stigma sosial yang buruk dari masyarakat sehingga mereka memiliki sedikit akses terhadap layanan kesehatan mental yang berakibat menurunnya produktivitas dalam berkegiatan sehari-hari. Secara hukum, belum terdapat peraturan yang komprehensif mengenai pelayanan kesehatan mental sehingga hak-hak bagi ODGJ dan ODMK masih belum dapat terlayani.
Lalu hak dan kewajiban apa sajakah yang dimiliki oleh ODMK dan ODGJ? Menurut Pasal 68 UU No.18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa, diterangkan bahwa ODMK berhak untuk (Republik Indonesia 2014):
- Mendapatkan informasi yang tepat mengenai Kesehatan Jiwa;
- Mendapatkan pelayanan Kesehatan Jiwa di fasilitas pelayanan kesehatan yang mudah dijangkau;
- Mendapatkan pelayanan Kesehatan Jiwa sesuai dengan standar pelayanan Kesehatan Jiwa;
- Mendapatkan informasi yang jujur dan lengkap tentang data kesehatan jiwanya termasuk tindakan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan dengan kompetensi di bidang Kesehatan Jiwa;
- Mendapatkan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan jiwa; dan
- Menggunakan sarana dan prasarana yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan jiwa.
Menurut Pasal 69 dalam UU No.18 Tahun 2014, ODMK berkewajiban untuk memelihara kesehatan jiwanya dengan cara menjaga perilaku, kebiasaan, gaya hidup sehat, dan meningkatkan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sosial.
Sedangkan hak seorang ODGJ menurut Pasal 70 ayat (1) dalam UU No.18 Tahun 2014 adalah:
- Mendapatkan pelayanan Kesehatan Jiwa di fasilitas pelayanan kesehatan yang mudah dijangkau;
- Mendapatkan pelayanan Kesehatan Jiwa sesuai dengan standar pelayanan Kesehatan Jiwa;
- Mendapatkan jaminan atas ketersediaan obat psikofarmaka sesuai dengan kebutuhannya;
- Memberikan persetujuan atas tindakan medis yang dilakukan terhadapnya;
- Mendapatkan informasi yang jujur dan lengkap tentang data kesehatan jiwanya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan dengan kompetensi di bidang Kesehatan Jiwa;
- Mendapatkan perlindungan dari setiap bentuk penelantaran, kekerasan, eksploitasi, serta diskriminasi;
- Mendapatkan kebutuhan sosial sesuai dengan tingkat gangguan jiwa; dan
- Mengelola sendiri harta benda miliknya dan/atau yang diserahkan kepadanya.
Kewajiban untuk ODGJ tidak disebutkan, karena dianggap tidak mampu bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri sehingga harus bergantung dengan orang lain, dalam hal ini orang-orang terdekatnya dan tenaga medis.