Tujuan adanya tulisan ini berkaitan dengan keprihatinan saya sebagai pemuda Jombang.
Saya tahu saya bukan siapa-siapa, saya juga tahu saya belum memiliki kontribusi apapun bagi kota kelahiran saya, Jombang, tetapi saya bertekad untuk melakukan yang terbaik bagi kota ini.
Saya tinggal di sebuah dusun di perbatasan antara Kecamatan Diwek dan Kecamatan Mojowarno.
Sebuah dusun yang seringkali saya sebut sebagai 'desa ditengah hutan'.Â
Hah?Â
Memangnya ada hutan di Kabupaten Jombang?Â
Tentu saja itu tidak ada.
Itu hanya sebuah kritikan dan sindiran halus saya kepada desa tempat tumbuh kembang saya.Â
Dusun saya cukup jauh dari balai desa, bahkan bisa dikatakan jika dusun saya lebih dekat dengan kecamatan sebelah, yakni Kecamatan Mojowarno dibandingkan dengan Kecamatan Diwek.
Selama saya tinggal dua puluh satu tahun di Jombang saya hampir setiap hari melakukan mobilitas menuju daerah Cukir, mungkin kira-kira empat hingga lima kilometer dari dusun saya.Â
Sepanjang perjalanan menuju Cukir saya dapat menyaksikan sawah-sawah perhijauan yang sangat-sangat luas.Â
Tentu pemandangan ini bagi orang-orang kota 'segar'.Â
Tetapi bagi saya 'biasa saja' karena hampir tiap hari sawah-sawah tersebut saya pandangi setiap hari.Â
Walaupun memang mata kita seolah terpesona oleh pemandangan itu, tetapi nyawa kita juga menjadi taruhan atas jalanan berlubang, bergelombang, dan tak rata di sepanjang jalan menuju Cukir.
Ya benar saja, masyarakat Jombang menyebutnya jalan itu bernama Jalan Cukir-Mojowarno.Â
Sebuah jalan kurang lebih delapan hingga sepuluh kilometer yang menghubungkan dua kecamatan dan menjadi jalur akses menuju tempat wisata di Wonosalam.
Meskipun memang jalanan sempit itu berperan penting tetapi permukaan aspal dijalanan itu sangat-sangat tidak layak untuk dilalui.
Jalanan bergelombang, bergelombang, dan tak rata menjadi fenomena wajar bagi saya yang sudah 21 tahun hidup di Jombang.Â
Kondisi jalanan itu semakin diperparah ketika malam hari, "sudah jalanan rusak lampu penerangan jalan pun tak ada sama sekali hanya lampu rumah-rumah penduduk saja yang menyala".
Tak mengherankan jika saya menyebut dusun saya sebagai "kampung tengah hutan".Â
Sebuah kampung ditengah-tengah sawah yang sangat gelap ketika matahari tenggelam.Â
Tentu saja cerita saya itu hanya sepesersekian persen dari cerita masyarakat Jombang lain terkait jalanan rusak di kota santri itu.Â
Mengutip dari jombangku.com, sekitar 385 kilometer jalanan rusak dan berlubang di Kabupaten Jombang dinilai tidak segera ada perbaikan dari Pemerintah Kabupaten Jombang.
Bila dibandingkan dengan Kecamatan Jombang tentu sangat berbeda jauh.Â
Kecamatan Jombang yang menjadi pusat aktivitas ekonomi dan pusat aktivitas bupati dan jajarannya ketika malam sangat berwarna.Â
Jalanan kanan-kiri dihiasi oleh lampu hias yang kelap-kelip ketika dinyalakan.Â
Dilansir dari KabarJombang.com proyek revitalisasi drainase dan trotoar di Jalan Wachid-Hasyim Kabupaten Jombang menelan Rp 16.774.341.000.Â
Belum lagi proyek revitalisasi alun-alun Kabupaten Jombang sudah menelan Rp9,7 miliar.
Sebuah angka yang fantastis bagi proyek yang tidak memiliki andil sepeserpun bagi perekonomian Kabupaten Jombang.Â
Bila jalanan rusak saja dibiarkan dan lebih mementingkan proyek 'tak berfaedah' tentu kita sudah tau mana prioritas orang nomor satu di Jombang ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H