Tentu pemandangan ini bagi orang-orang kota 'segar'.Â
Tetapi bagi saya 'biasa saja' karena hampir tiap hari sawah-sawah tersebut saya pandangi setiap hari.Â
Walaupun memang mata kita seolah terpesona oleh pemandangan itu, tetapi nyawa kita juga menjadi taruhan atas jalanan berlubang, bergelombang, dan tak rata di sepanjang jalan menuju Cukir.
Ya benar saja, masyarakat Jombang menyebutnya jalan itu bernama Jalan Cukir-Mojowarno.Â
Sebuah jalan kurang lebih delapan hingga sepuluh kilometer yang menghubungkan dua kecamatan dan menjadi jalur akses menuju tempat wisata di Wonosalam.
Meskipun memang jalanan sempit itu berperan penting tetapi permukaan aspal dijalanan itu sangat-sangat tidak layak untuk dilalui.
Jalanan bergelombang, bergelombang, dan tak rata menjadi fenomena wajar bagi saya yang sudah 21 tahun hidup di Jombang.Â
Kondisi jalanan itu semakin diperparah ketika malam hari, "sudah jalanan rusak lampu penerangan jalan pun tak ada sama sekali hanya lampu rumah-rumah penduduk saja yang menyala".
Tak mengherankan jika saya menyebut dusun saya sebagai "kampung tengah hutan".Â
Sebuah kampung ditengah-tengah sawah yang sangat gelap ketika matahari tenggelam.Â
Tentu saja cerita saya itu hanya sepesersekian persen dari cerita masyarakat Jombang lain terkait jalanan rusak di kota santri itu.Â