Akhirnya prestasi kita terjun bebas, Piala Thomas gagal dipertahankan saat Jakarta ditunjuk sebagai tuan rumah pada 2004. Edisi selanjutnya, kita malahan gagal melaju ke putaran final Piala Uber 2006 akibat kalah agregat dari Malaysia.
Prestasi ini tentu sangat mengernyitkan dahi dimana pada golden age kita mampu mengawinkan Piala Thomas dan Piala Uber tetapi saat masa suram justru kita gagal melaju ke putaran final saja. Tentu saja, prestasi ini sangat bertolak belakang dengan capaian para atlet di dekade 1990-an.Â
Puncaknya adalah kegagalan Indonesia mempertahankan tradisi emas bulutangkis di Olimpiade London 2012. Kemandegan prestasi tak berhenti sampai disana saja, kita juga seringkali kecewa dengan penampilan para atlet yang berlaga. Akibatnya, stigma negatif pun akan mengakar tajam dari dada BL Indonesia.
Jika ditelisik lebih dalam kemandegan prestasi kita memang terdapat andil dari pelatih hebat Tong Sin Fu yang dikemudian hari melahirkan Lin Dan, peraih dua emas Olimpiade dan lima kali juara dunia. Tapi jauh dari itu, ada andil dari pemerintah yang tak mengistimewakan cabang olahraga unggulan kita.Â
Kementerian Pemuda dan Olahraga per Juli 2020 menganggarkan Rp50,6 miliar untuk sepakbola, dilain sisi anggaran bulutangkis hanya Rp18,6 miliar. Hal ini tentu saja sangat timpang antara anggaran dua cabor kegilaan masyarakat Indonesia itu.Â
Sebuah pertanyaan diajukan, sebenarnya cabor apa yang menjadi prioritas pemerintah? Kalau bulutangkis bukan anak emas pemerintah lantas apakah pernah sepakbola meraih emas olimpiade?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H