Mohon tunggu...
Dimas Bagus Aditya
Dimas Bagus Aditya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Mengkritiklah sebelum mengkritik itu dilarang!

Alumnus SMA Negeri Jogoroto, Jombang. Mahasiswa S1 Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Melihat Le Petit Histoire Pesantren: Inkluisivitas Dalam Ranah Historiografi Pondok Pesantren

2 Januari 2021   19:13 Diperbarui: 2 Januari 2021   19:24 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak masuknya Islam ke Nusantara, pendidikan Islam merupakan salahsatu unsur tersebarnya Islam ke penjuru tanah air. Bila berkaca dari hasil seminar “Masuknya Islam ke Indonesia” yang dihelat di Medan pada 1963 menyiratkan makna bahwa Islam dipastikan masuk di Nusantara yaitu melalui garis bibir pantai Sumatera dan Aceh. Walaupun memang telah disepakati demikian, namun perdebatan itu seolah masih mewarnai ruang diskusi hingga detik ini. Spekulasi berbagai teori tentang masuknya Islam menambah daftar panjang perdebatan mengenai sejak kapan Islam datang di Nusantara.


Secara garis besar, pesantren masih dipandang sebagai kelanjutan dari sistem pengajaran mandala pada masa Hindu-Budha (Moestopo, Kebudayaan Islam di Jawa Timur: Kajian Beberapa Unsur Budaya Masa Peralihan, 2001:150). Mandala dapat diartikan sebagai asrama yang menampung para pertapa atau pelajar yang ingin mendalami agama Siwa, serta berada ditengah-tengah hutan dengan dipimpin oleh guru dewa. Pesantren Ampeldenta yang berada di Surabaya dianggap sebagai bentuk dari pesantren yang telah berdiri sejak abad ke 15.


Bila ditinjau dari segi kebahasaan, pesantren berasal dari kata funduq yang memiliki arti asrama, dan shastri yang berarti orang-orang yang mengetahui buku-buku suci. Sehingga pondok pesantren memiliki arti asrama yang dihuni oleh orang-orang yang mengetahui buku-buku suci (Sayono, Perkembangan Pesantren di Jawa Timur, Tesis PPS UGM, 2001).
Dalam artikel ini akan membahas mengenai keberadaan pesantren yang diidentikkan dengan le petit histoire pesantren. Mengapa disebut le petit histoire? Hal ini dikarenakan pesantren merupakan ranah pendidikan kecil. Meskipun bersifat kecil namun dapat menggerakkan sebuah perlawanan untuk menggelorakan kemerdekaan. Dalam tulisan ini akan membahas keberadaan pondok pesantren di Nusantara, sejak masa kerajaan-kerajaan Islam, kependudukan Hindia Belanda, sampai masa Indonesia mencapai kemerdekaan.


Melihat Le Petit Histoire Pesantren: Kacamata Pesantren Dalam Historiografi Kolonial


Paku Buwana III (1991: 5) dalam Serat Centhini Jilid I menggambarkan bahwa keberadaan pesantren ketika itu tidak terlalu banyak. Dalam serat itu dijelaskan bahwa Giri (Ampel-Giri didapati sebagai pembuka bentuk pesantren pertama) yaitu sebuah wilayah yang dihuni oleh penduduk mayoritas Islam dengan dipimpin oleh Sunan Giri. Masyarakat di Giri sudah mengenal adanya Tuhan, menunaikan syariat nabi, membaca kitab suci Al Qur’an dan membangun masjid atau musholla. Soewito Susanto (1970: 99) dalam Babad Tanah Jawi hanya menulis bahwa pesantren di Ampeldenta dengan dipimpin oleh Sunan Ampel telah memiliki banyak santri. Lain lagi dalam Kitab Cebolek karangan (Moestopo, Kebudayaan Islam di Jawa Timur: Kajian Beberapa Unsur Budaya Masa Peralihan, 2001:154-163).


Pada dasarnya pada masa kerajaan-kerajaan Islam, historiografi pesantren sudah ditulis, namun masih sangat terbatas. Pada masa ini, pesantren telah menjadi sarana penyebaran agama Islam dari daerah ke daerah. Sehingga tak begitu mengherankan jikalau para peneliti berpendapat bahwa pesantren adalah salahsatu sarana penyebar agama Islam di Nusantara.


Melihat Le Petit Histoire Pesantren: Kacamata Pesantren Dalam Ranah Historiografi Kolonial


Pemerintah Hindia-Belanda menilai pondok pesantren memiliki andil yang cukup besar untuk pendidikan para pribumi. Untuk itu, Pemerintah Hindia-Belanda melakukan sebuah survei mengenai keberadaan pesantren. Hasilnya, didapati bahwa pesantren telah berdiri namun bentuknya masih sangat sederhana. Imron Arifin (1993) dalam bukunya Kepemimpinan Kyai dijelaskan bahwa pada masa kolonial kondisi pondok pesantren masih berbentuk ruangan persegi yang terbuat dari bambu yang dianyam.


Sayono (2001) dalam Tesis PPS UGM yang berjudul Perkembangan Pesantren di Jawa Timur menuliskan bahwa jumlah pesantren sudah cukup banyak hingga mencapai 300 buah. Sayono (2001) mengambarkan bahwa tulisan yang menyangkutkan mengenai pesantren dapat dilihat pada tulisan L.W.C Berg yang berjudul De Mohammedaansche Geestelijkheid en de Geestelijk Goederen or Java en Madoera. Dalam tulisan ini, Berg memberikan gambaran mengenai pendidikan pesantren di Jawa dan Madura.


Sayono (2001) menjelaskan bahwa kuantitas pesantren telah digambarkan secara rinci oleh Berg, mengenai latarbelakang berdirinya pesantren ditulis oleh Guillot dan Snouck Hurgronye, sementara proses pendidikan yang diterapkan oleh pesantren di tulis oleh Achmad Djajadiningrat. Pondok pesantren dikatakan berdiri manakala seseorang (kyai) membuka pengajian agama Islam, lambat laun kebanyakan orang yang belajar mengenai agama kemudian bertempat tinggal ditempat yang dimaksud (rumah kyai itu). Sayono (2001) memberitakan bahwa aktivitas yang dilakukan di pondok pesantren sehari-hari ialah membaca dan melantunkan ayat-ayat suci Al Qur’an, serta talamidz menyetorkan hafalannya pada kyai untuk diperiksa. Dalam pendidikan pondok pesantren metode yang digunakan adalah sorogan.


Pemerintah Hindia-Belanda sempat memiliki pandangan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang rendah, sehingga kemajuan yang berarti bagi para muridnya. Namun pandangan ini berubah drastis, tatkala terjadi Pemberontakan Petani di Banten pada 1888 yang membuat pesantren dibatasi pergerakannya. Tokoh-tokoh kiai yang memberontak kepada Belanda menyebabkan pesantren dapat membahayakan Pemerintah Hindia Belanda. Latar belakang yang menyebabkan para petani memberontak kepada Pemerintah Hindia-Belanda tidak terlepas dari peraturan yang ditetapkan oleh Belanda itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun