Mengapa saya mengabmbil topik mengenai konflik antara China dan Taiwan adalah karena saya pribadi sangat tertarik dengan perang dan konflik internasional dan dalam konflik China dan Taiwan ini sangat menarik karena terdapat beberapa aspek di dalam konflik tersebut memiliki keterkaitan dengan elemen-elemen yang ada di dalam teori Neo-Realisme. China sendiri juga terlibat banyak konflik internasional sehingga sangat menarik apabila membahas negara ini.
Neorealisme adalah teori yang berkambang dari teori realisme klasik yang muncul pada tahun 1979 dimana neorealisme muncul sebagai kritik atas teori realisme klasik yang menganggap bahwa sifat dasar manusia yang konfliktual sebagai alasan dari berbagai konflik kekuasaan dalam dunia hubungan internasional. Dalam pandangan neorealisme, perebutan kekuasaan yang terjadi di dunia internasional diakibatkan oleh struktur internasional yang bersifat anarki sehingga dengan adanya struktur internasional yang anarki ini akan memaksa negara untuk bersifat agresif. Struktur internasional anarki adalah ditunjukan dengan tidak adanya otoritas yang mengatur hubungan antar negara. Dengan kondisi yang seperti ini, tidak ada yang bisa memprediksi potensi suatu negara diserang negara lain. Dengan kondisi yang tidak dapat diprediksi ini maka akan mendorong negara untuk berusaha untuk memaksimalkan kemampuan keamanan dan power mereka (Dugis, 2016)
Dalam neorealis terdapat dua teori/prinsip utama yaitu Defensive Structural Realism yang dikemukakan oleh Kenneth Waltz dan Structural Realism oleh John J. Mearsheimer. Kedua prinsip tersebut memiliki pandangan yang berbeda dalam melihat dan menghadapi struktur internasional yang anarki.
Defensive Structural Realism beranggapan bahwa sebuah negara tidak seharusnya melakakukan pemaksimalan power mereka, melainkan suatu negara harus mencari kekuatan yang tepat atau pas. Sehingga pada dasarnya negara tidak agresif dan bahwa tujuan negara bukanlah untuk memaksimalkan kekuasaan atau power mereka melainkan untuk mempertahankan posisi mereka di sistem internasional (Waltz, 1979). Sedangkan teori Structural Realism atau realosme ofensif memandang bahwa pemaksimalan atau ekspansi militer adalah kunci bagi suatu negara untuk menjamin keamanan dan survivalitas negara tersebut di dalam struktur internasional yang anarki. Artinya memaksimalkan kekuatan sebesar-besarnya sehingga setiap negara akan berlomba untuk menjadi negara hegemon, setidaknya pada level regional dan pada akhirnya ke level global (Mearsheimer, 2001)
Dalam neorealism juga terdapat sebuah teori, yaitu Balance of Threat yaitu sebuah teori yang dikemukakan oleh Stephen Walt pada tahun 1985. Dalam teori balance of threat ini menganggap bahwa perilaku aliansi negara dipengaruhi oleh ancaman yang mereka rasakan dari negara lain. (Walt, 1985) Umumnya negara-negara akan membentuk suatu persekutuan atau suatu aliansi untuk melawan ancaman yang mereka rasakan, namun untuk negara-negara yang kecil atau lemah, mereka cenderung untuk melakukan bandwagon atau ikut-ikutan dengan ancaman tersebut untuk melindungi keamanan mereka
Di dalam neoralisme terdapat 4 elemen ancaman yang bisa menjadi suatu ancaman bagi suatu negara, yaitu:
- Aggregate Power
Kekuatan agregat yang artinya adalah sebuah ancaman yang bersifat besar, dan ancaman tersebut dapat dilihat dan dirasakan secara langsung. Contohnya adalah semakin besar total sumber daya dari suatu negara missal dari jumlah populasi, kemampuan industri, kemampuan militer, dan kecanggihan teknologi, maka semakin besar potensi ancaman yang dtimbulkan oleh negara negara tersebut terhadap negara lain.
- Geographic ProximityÂ
Ancaman yang diakibatkan oleh letak geografis dari sebuah negara, artinya bahwa ancaman dari negara yang wilayahnya berdekatan akan menimbulkan ancaman yang lebih besar dibandingkan dengan negara yang jauh. Negara cenderung memilih untuk menanggapi kekuatan dari negara terdekat dibandingkan dengan negara yang jauh. Ancaman ini biasanya akan menimbulkan penyeimbangan kekuatan atau juga bisa menimbulkan bandwagoning (ikut-ikutan arus), namun biasanya apabila sebuah negara kecil berbatasan dengan negara dengan kekuatan besar, maka negara kecil itu cenderung memilih untuk bandwagon daripadan penyeimbangan, apalagi apabila negara tetangga yang memiliki kekuatan yang besar tersebut menunjukan kemamupannya untuk pemaksaan atau ancaman. (Niemo, n.d.)
- Offensive CapabilitiesÂ
Adalah sebuah kemampuan ofensif yang besar dari sebuah negara yang mampu untuk memprovokasi ataupun mengancam negara lain dengan power yang lebih rendah. Offensive Capabilities ini dapat mengancam kedaulatan atau integritas territorial negara lain tanpa melakukan suatu tindakan yang mengancam dengan sengaja. Artinya bahwa suatu negara bisa saja mengancam negara lain padahal negara tersebut tidak melakukan hal yang secara intens untuk mengancam negara lain.
- Offensive IntentionÂ
Offensive Intention adalah sebuah tindakan yang dilakukan oleh sebuah negara untuk mengancam negara lain dengan niatan. Biasanya ancaman ini dilakukan secara sering dan intens dan ancamannya bersifat masif. Sehingga negara yang diancam sudah tidak bisa melakukan bandwagon lagi karena ancamannya sudah massif dan intens jadi mau tidak mau negara yang diancam harus melakukan perimbangan kekuatan guna untuk mempertahankan keamanannya.
Konflik China dan Taiwan
Konflik antara China dan Taiwan diakibatkan oleh China yang tidak menganggap Taiwan sebagai negara merdeka yang berdaulat. China mengganggap Taiwan adalah sebagian dari wilayah China yang membangkang dan memisahkan diri pada saat perang saudara di tahun 1949Â (Arbar, 2021). Sedangkan Taiwan menganggap dirinya sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat yang terbebas dari pemerintahan komunis China daratan.
Kemudian konflik yang belum lama ini terjadi, yaitu China yang menerbangkan sebanyak 58 pesawat jet tempur miliknya melintasi wilayah udara Taiwan. China menerbangkan pesawat jet tempurnya sebanyak 38 pesawat jet tempur pada hari jumat 1 Oktober 2021 yang kemudian disusul 20 pesawat jet tempur lagi pada sabtu 2 Oltober 2021. Gelombang ancaman pesawat jet tempur yang di luncurkan oleh China pada jumat 1 Oktober 2021 terdiri dari 38 pesawat, yaitu gelombang serangan pertama terdri dari 18 pesawat jet tempur Shenyang J-16, 4 pesawat jet tempur Sukhoi Su-30 ditambah 2 pesawat bomer Xian H-6 yang memiliki kekuatan nuklir dan sebuah pesawat anti kapal selam. Kemudian kelompok serangan kedua terdiri dari 10 pesawat jet tempur Shenyang J-16, 2 pesawat bomber Xian H-6 dan pesawat peringatan dini. Semua pesawat itu terbang melintasi daerah yang dekat dengan Kepulauan Pratas, dan dua pesawat bomber Xian H-6 yang terbang dekat dengan atoll dan untuk kelompok kedua mereka terbang ke arah Selat Bashi yang merupakan jalur air yang menghubungkan Laut China Selatan dan Pasifik, dan wilayah ini merupakan pemisah antara Taiwan dan Filipina. Kemudian gelombang berikutnya terjadi pada hari sabtu 2 Oktober 2021 dengan China yang menerbangkan 18 pesawat jet tempur dan 2 pesawat bomber. Menurut China, penerbangan tersebut berguna untuk menjaga kedaulatan negaranya dan bertujuan untuk melawan "kolusi" antara Taiwan dan Amerika Serikat yang menurut China adalah suatu dukungan internasional atas wilayah itu.
Menurut Taiwan merupakan serangan terbesar yang pernah dilakukan oleh angkatan udara China ke wilayahnya. Taiwan juga menganggap bahwa aksi ini sangat mengancam kedaulatan wilayah Taiwan. Menurut perdana menteri Taiwan Su Tseng-chang, bahwa China sudah secara sewenang-wenang melakukan agresi militer dan mengancam perdamaian regional (CNN Indonesia, 2021). Namun bagi China ini merupakan suatu tindakan untuk menjaga kedaulatan China serta untuk menanggapi tindakan Taiwan yang terus berupaya untuk mendapat pengakuan internasional dari negara lain terutama dengan mendekatnya Taiwan ke Amerika Serikat sejak terpilihnya Tsai Ing-wen sebagai presiden Taiwan.
Apabila dilihat dari kacamata neorealis, tindakan yang dilakukan oleh China ini dapat masuk ke teori offensive capabilities yang terdapat di dalam neorealis. Karena apabila dilihat dari sudut pandang Taiwan, bahwa adanya penerbangan pesawat tempur China di wilayah Taiwan sangat mengancam kedaulatan Taiwan. Sedangkan pihak China merasa tenang dan merasa bahwa tindakan yang China lakukan ini bukanlah sebuah ancaman yang secara nyata atau langsung, namun hal ini membuat Taiwan terancam. Hal ini sangat mencerminkan teori offensive capabilities, karena menurut teori ini adalah sebuah kemampuan negara untuk memprovokasi atau mengancam negara lain tanpa melakukan tindakan apapun yang mengancam secara langsung. Dalam konteks ini, China hanya menerbangkan pesawat tempurnya melalui wilayah Taiwan tanpa melakukan apapun namun Taiwan merasa kedaulatannya sangat terancam.