Akhir-akhir ini saya terusik dengan kata “oknum”. Maklumlah, saya tidak tahu apa arti kata ini, tapi setiap ada sebuah kejahatan, kekeliruan, ataupun hal negatif lain yang dilakukan oleh seseorang maupun sekelompok orang dari sebuah institusi, kata “oknum” langsung terucap. Tidak hanya diucapkan namun dijadikan kambing hitam.
Tidak ingin menjadi korban media yang selalu mengkambinghitamkan “oknum’, saya penasaran untuk mencari arti “oknum” sebenarnya. Menurut KBBI, definisi okum adalah sebagai berikut
[caption id="attachment_273997" align="alignnone" width="577" caption="definisi oknum, sumber http://bahasa.cs.ui.ac.id/kbbi/kbbi.php?keyword=oknum&varbidang=all&vardialek=all&varragam=all&varkelas=all&submit=tabel"][/caption]
Tidak cukup puas dengan definisi tersebut, karena otak saya tidak dapat menangkap keseluruhan makna yang disajikan, saya mencari definisi lain. Ketemulah saya dengan definisi seperti di gambar bawah ini:
[caption id="attachment_273998" align="alignnone" width="635" caption="definisi lain dari oknum, sumber http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20110628004418AAduA0c"]
Dari dua penjelasan diatas, maka arti kata “oknum” dapat disimpulkan sebagai tindakan seseorang yang tidak mewakili institusi atau lembaga yang menaunginya. Tapi masih menjadi perdebatan apakah kata “oknum” hanya disebut ketika seseorang melakukan hal yang negatif saja, atau orang yang melakukan hal positif juga layak disebut oknum.
Selama ini kata “oknum” hanya muncul pada kegiatan negatif yang dilakukan seseorang. Polisi yang memalak warga misalnya, tukang parkir dalam sebuah paguyuban yang menaikkan tarif semaunya sendiri, pegawai pajak yang berperan dalam suap menyuap, birokrat yang bermain proyek, maupun anggota dewan yang menilep uang rakyat. Lembaga tidak mau disalahkan atas setiap perilaku buruk seorang anggotanya, sekalipun perilaku tersebut dilakukan oleh banyak anggota dan sudah menjadi rahasia umum di masyarakat. Mereka selalu berlindung di balik tameng “oknum” untuk menyelesaikan masalah yang sebenarnya terjadi karena sistemnya mendukung terjadinya penyimpangan tersebut.
Oknum disematkan pada minoritas orang yang melakukan penyimpangan. Namun jika penyimpangan tersebut (mungkin) dilakukan oleh banyak orang, apakah kata “oknum” masih layak disebut? Misalkan rasio polisi, pegawai pajak, anggota DPR/DPRD dan birokrat yang “tidak jujur” lebih banyak dari yang “jujur dan bekerja sepenuh hati”, apakah kata oknum masih layak diberikan bagi mereka yang menyimpang? Ataukah sudah saatnya bagi kita untuk melabeli mereka yang jujur dengan sebutan oknum karena jumlahnya yang kian hari semakin sedikit? Mungkin saja.
Mari membiasakan diri menyebut mereka yang jujur yang jumlahnya semakin sedikit itu sebagai “oknum”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H