Mohon tunggu...
Dimas Adiputra
Dimas Adiputra Mohon Tunggu... Buruh - Seorang karyawan swasta biasa

Olahraga, Politik, Kebijakan, dan Keuangan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

SANG PEJINAK DUA MACAM ULAR

30 Juni 2014   21:50 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:06 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul               : Mantra Pejinak Ular

Penulis             : Kuntowijoyo

Penerbit           : Penerbit Buku Kompas

Cetakan           : II, September 2013

Tebal Buku      : x + 274 halaman

ISBN               : 978-979-709-743-1

Buku ini merupakan cetakan kedua setelah pertama kali diterbitkan pada Oktober 2000. Novel yang dikarang Kuntowijoyo ini dicetak kembali untuk memperingati 70 tahun kelahiran sastrawan, budayawan, sekaligus sejarawan yang telah wafat di usia 61 tahun pada 22 Februari 2005. Pada awalnya kisah Mantra Pejinak Ular ditulis Kuntowijoyo dalam bentuk cerita bersambung yang dimuat di harian Kompas dari 1 Mei sampai 8 Juli tahun 2000.

Awal-awal membaca novel ini, pembaca akan menerka-nerka akan dibawa kemana cerita ini. Dari judulnya yang tidak biasa, “Mantra Pejinak Ular” bisa berarti sebuah kisah seorang yang menguasai mantra menjinakkan ular, bisa pula hanya sebuah kiasan untuk menceritakan sesuatu yang lebih filosofis. Dalam hal ini sang penulis memang menceritakan mantra pejinak ular secara tersurat maupun tersirat.

Sebagai sebuah makna tersurat, cerita ini berkisah tentang pemuda bernama Abu Kasan Sapari yang menguasai mantra pejinak ular. Mantra tersebut didapatnya dari seorang laki-laki tua ketika berada di perayaan tanda dimulainya musim giling atau cembeng. Abu, panggilan tokoh utama yang juga seorang pegawai kecamatan itu turut mempersiapkan stand hasil bumi kecamatannya untuk dipamerkan dalam acara cembeng tersebut.

Dengan mantra yang dimilikinya, Abu merasa memiliki chemistry dengan ular-ular. Dia akan menguburkan di tempat layak jika mendapati bangkai ular, ikut merasa sedih ketika orang-orang membantai ular, serta bisa mengusir ular tanpa menyakiti. Bahkan saking cintanya kepada ular, Abu menjadikan ular besar yang ditemukan di sawah dekat rumah sewanya sebagai klenengan (hewan peliharaan). Diluar kebiasaan orang-orang yang memelihara burung, kera, kuda, hingga mobil mewah.

Sementara itu sebagai sebuah makna tersirat, ular diibaratkan sebagai paggung politik yang bisa sangat ganas dan dihindari banyak orang. Terlebih lagi dalam situasi pemerintahan Orde Baru yang menjadi latar dari kisah ini. Di tengah-tengah sistem yang otoriter, pengekangan kebebasan, dan hierarkis, Abu mampu bertahan untuk tidak ikut arus. Ia menjinakkan “ular” lewat keahliannya dalam mendalang. Baginya politik adalah persoalan kekuasaan dan urusan menang kalah, sedangkan kesenian lebih kepada keindahan dan hiburan. Dua hal tersebut tidak boleh dicampur aduk. Abu menekankan sikap politiknya dengan tidak ikut campur dalam politik praktis.

Seperti dalam karya-karya Kuntowijoyo lainnya, cerita ini menampilkan tokoh maupun latar yang sama. Jawa, pedesaan, tradisional dengan nilai-nilai mistis dan kehidupan bermasyarakatnya merupakan ciri dari setiap tulisan Kuntowijoyo. Selain itu novel ini juga lengkap karena memasukkan puisi, macapat, dongeng, hingga sejarah pewayangan sebagai bagian dari cerita. Terlebih lagi ditulis dengan gaya Kuntowijoyo yang selalu bercerita dengan sangat detail.

Sedikit yang menjadi catatan dalam buku ini, penulis memasukkan terlalu banyak tokoh. Meskipun Abu tetap menjadi tokoh utamanya, namun keberadaan tokoh-tokoh lain yang tiba-tiba muncul membuat pembaca berpikir siapa tokoh-tokoh ini dengan mengingat bagian awal kembali. Selain itu ada beberapa bagian dengan alur cerita yang melompat seperti pada bagian akhir, dimana tiba-tiba sekelompok orang dari luar lingkungannya resah dengan keberadaan ular peliharaan Abu. Hal ini tentu mengurangi keindahan detail cerita yang sudah dibangun penulis dalam setiap babnya.

Namun buku ini tetap penting dibaca karena ada pesan-pesan yang berusaha disampaikan penulis baik secara langsung maupun tidak. Cerita ini juga menjadi refleksi dari kehidupan di Indonesia saat ini. Dengan membaca buku ini kita turut merasakan tidak bebasnya hidup pada zaman Orde Baru. Sedikit saja berbeda dengan penguasa bisa dianggap tindakan subversif. Bicara blak-blakan bisa menimbulkan keresahan berhari-hari karena pihak keamanan dapat menjemput sewaktu-waktu. Oleh karena itu kebebasan yang diperoleh saat ini sudah seharusnya dinikmati secara bijaksana sehingga tidak memunculkan keinginan penguasa untuk mengembalikan Indonesia seperti masa lampau.

Kuntowijoyo juga mengingatkan bahwa segala sesuatu tidak harus selalu dinilai dalam kacamata politik. Hal ini seperti mengingatkan fenomena yang terjadi di Indonesia sekarang ini, dimana hampir semua aspek dipolitisi atau dianggap tindakan politis. Masalah ini juga menimpa Abu, dimana kegiatannya mendalang pada acara calon kades yang tidak pro partai penguasa dianggap sebagai sikap politik. Padahal ketidakhadiran Abu menjadi dalang acara kades yang lain karena mereka sendiri yang enggan memakai jasanya. Sikap politik Abu pun sebenarnya jelas dengan tidak berpolitik praktis dan memisahkan kesenian dari politik.

Maka dengan segala kelebihannya, novel ini pantas menyandang penghargaan dari Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun