Mohon tunggu...
M. Dhimas Adiputra
M. Dhimas Adiputra Mohon Tunggu... Ilmuwan - Mahasiswa

I’m majoring in Chemistry at Universitas Airlangga.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Beton Geopolimer, Solusi Alternatif Untuk Selamatkan Bumi

30 April 2020   00:20 Diperbarui: 8 Mei 2020   01:57 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini, dunia sedang dihebohkan dengan COVID-19 (Corona Virus Disease 2019) yang diakibatkan oleh virus corona. Seperti yang kita ketahui, virus corona atau Severe Acute Respiratory Syndrome Corona Virus 2 (SARS-CoV-2) adalah virus yang menyerang sistem pernapasan. 

Penyakit yang diakibatkan oleh virus ini pertama kali ditemukan di kota Wuhan, China pada akhir Desember 2019. Virus ini menular dengan sangat cepat dan telah menyebar ke hampir semua negara, termasuk Indonesia, hanya dalam waktu beberapa bulan. Puncaknya, virus ini diumumkan menjadi pandemic global oleh World Health Organization (WHO) mulai tanggal 11 Maret 2020.

Namun siapa sangka, virus corona juga membawa dampak positif bagi lingkungan. Menurut National Aeronautics and Space Administration atau yang lebih kita kenal dengan NASA, mengumumkan hasil yang mengejutkan dari pengamatan satelitnya. Pasca aturan lockdown yang dikeluarkan Pemerintah China, salah satu senyawa penyebab pemanasan global yaitu nitrogen dioksida (NO2) mengalami penurunan konsentrasi di negara tersebut. Nitrogen dioksida adalah hasil sampingan dari pembakaran bahan bakar fosil, baik itu batubara, minyak, gas maupun diesel, yang ditimbulkan dari mobil, truk, bus, pembangkit listrik dan fasilitas industri lainnya.

Produksi gas-gas penyebab pemanasan global seharusnya dapat terus ditekan, meskipun wabah COVID-19 ini akan usai di kemudian hari. Beberapa gas yang menyebabkan terjadinya pemanasan global yaitu karbon dioksida (CO2), nitrogen dioksida (NO2), sulfur dioksida (SO2), metana (CH4), chloroflurocarbon (CFC) dan hydrofluorocarbon (HFC). 

Dari beberapa gas tersebut, karbon dioksida memiliki dampak terbesar. Namun siapa sangka, salah satu produsen gas karbon dioksida terbesar adalah bahan dasar tembok kita, yaitu semen yang diproduksi oleh industri semen. Sekitar 8% emisi karbon dioksida dunia pada tahun 2015, dihasilkan oleh industri semen. Industri semen menjadi penghasil gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia setelah total emisi yang dikeluarkan oleh China dan Amerika Serikat.

Menurut Eko, peneliti dari Universitas Gadjah Mada, total produksi semen di Indonesia selama tahun 2012 menghasilkan 26.921.591 ton karbon dioksida. Industri semen di Indonesia berkembang dengan pesat, hal ini terlihat dari data produksi semen yang meningkat dari 141 kilogram per kapita ditahun 2007 menjadi 200 kg per kapita ditahun 2011. Pulau Jawa dengan jumlah penduduk tertinggi menyerap 55,2% dari kebutuhan semen di Indonesia. 

Tingginya kebutuhan semen di Pulau Jawa menyebabkan sebagian besar industri semen mendirikan pabrik di Pulau Jawa. Karbon dioksida dihasilkan melalui proses pembuatan semen. Ada tiga sumber utama sebagai penghasil terbesar emisi karbon dioksida, yaitu proses kalsinasi, pembakaran bahan bakar fosil, dan penggunaan energi listrik. 

Karbon dioksida yang dihasilkan oleh industri semen di lepaskan ke alam dan merupakan salah satu penyebab dari pemanasan global. Secara alami, karbon dioksida dapat terserap melalui tiga cara yaitu fotosintesis, karstifikasi, dan oleh lautan. Sebenarnya sudah ada penelitian untuk mengurangi polusi gas karbon dioksida yang dihasilkan oleh semen, dengan suatu produk yang disebut geopolimer. Penelitian ini diprakarsai oleh Joseph Davidovits, seorang peneliti asal Perancis.

PT. Semen Indonesia sebagai pemasok utama semen di Indonesia, sebenarnya telah banyak melakukan penelitian mengenai geopolimer di bidang industri. Namun, biaya produksi semen masih terbilang cukup murah daripada geopolimer, mengakibatkan sulitnya geopolimer diproduksi dalam skala besar. 

Hal ini tentunya dapat menggenjot semangat peneliti lain di Indonesia untuk turut serta mengembangkan dan mengaplikasikan penelitian tersebut di Indonesia. Salah satu buku yang memuat geopolimer di Indonesia pernah dipublikasikan oleh tim pusat penelitian dan pengembangan perumahan dan pemukiman, dengan judul "Lusi Sebagai Material Konstruksi" serta diterbitkan oleh PT. Elex Media Komputindo. 

Dalam buku ini disebutkan bahwa hasil pencampuran Lumpur Sidoarjo (Lusi) dan abu terbang batu bara menghasilkan beton geopolimer dengan kuat tekan 64,0 MPa. Angka ini terbilang cukup kuat dan sangat mungkin bisa dikembangkan kedepannya. Aspek yang sangat bisa dikembangkan terutama dalam aspek ekonomi dan aspek teknologi.

Semoga tulisan ini dapat memberi semangat bagi siapapun yang sedang berjuang untuk mengembangkan Indonesia. Tidak peduli tentang profesi, ras dan agama. Jika niat baik untuk memberi manfaat terhadap sesama selalu ditanamkan di hati, maka kamudahan akan senantiasa membersamai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun