Mohon tunggu...
Dimas Saputra
Dimas Saputra Mohon Tunggu... Penulis - CW

Journalist & Freelance Writer

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mahkamah Konstitusi Bertanggung Jawab Siapa Presiden Indonesia Mendatang

5 Juli 2018   22:25 Diperbarui: 5 Juli 2018   22:48 830
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu bulan lagi kita akan punya Capres dan Cawapres untuk bertanding dalam Pemilihan Presiden 2019 mendatang. Siapa-siapa yang akan menjadi pasangan Capres dan Cawapres tersebut, bisa pasangan tunggal atau lebih dari satu pasang akan ikut ditentukan oleh putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Uji Materi Ambang Batas Presiden (Presidential Threshold) yang oleh Presiden Jokowi dan DPR RI ditetapkan besarnya 20%.

Sebagaimana diketahui melalui Undang-Undang Pemilu No. 17 Tahun 2017, Presiden Jokowi dan DPR RI menetapkan bahwa Partai Politik atau gabungan Partai Politik bisa mengajukan pasangan Capres dan Cawapres bila memiliki suara 20%. Angka 20% inipun diambil dari hasil Pemilu 2014 atau Pemilu 5 tahun yang lalu.

Banyak kalangan yang menilai penetapan PT 20% yang diambil dari hasil Pemilu lima tahun sebelumnya ini tidak masuk akal atau cacat logika. Mereka berpendapat jika pemilu legislatif dan pemilu presiden dilakukan secara serentak, maka PT itu seharusnya menjadi 0%. Begitu logikanya. Namun, Presiden Jokowi dan partai-partai politik koalisi pemerintahan yang berada di DPR berhasil memaksakan PT 20% itu.

Ternyata rakyat mulai menyadari, terlebih hanya 30 hari waktu yang tersisa untuk mengetahui siapa pasangan Capres dan Cawapres yang akan bertanding, bahwa PT 20% memiliki banyak persoalan. Satu hal yang paling dirasakan rakyat kita sekarang ini adalah terbatasnya putra-putri terbaik bangsa yang dapat maju sebagai Capres dan Cawapres.

Dengan kata lain, seolah-olah rakyat Indonesia "dipaksa" untuk kembali memilih Jokowi atau Prabowo sebagai Presiden lima tahun mendatang. Hal ini menutup jalan bagi calon-calon yang lain untuk maju karena Partai-Partai pengusungnya akan sulit mendapatkan suara 20%.

Persoalan yang lain adalah rakyat juga mengetahui bahwa PT 20% ini memang sengaja ditetapkan agar Presiden Jokowi yang tengah berkuasa hanya akan kembali berhadapan dengan Prabowo. Hitung-hitungan politiknya, Jokowi dipastikan akan menang lagi karena elektabilitasnya saat ini memang di atas Prabowo dengan perkiraan 40% lawan 20%.

Ini berarti Undang-Undang Pemilu dan PT 20% adalah alat yang dibangun untuk menjegal Capres alternatif, sehingga penguasa bisa leluasa mempertahankan kekuasaan. Sebuah sumber mengatakan bahwa pihak kekuasaan akan berupaya sekeras-kerasnya untuk menutup jalan dan peluang bagi partai-partai politik manapun untuk mengusung kandidat potensial yang lain.

Bisa saja pemerintah dan pendukungnya berkilah bahwa masih dimungkinkan adanya poros ketiga. Artinya bukan Jokowi dan bukan Prabowo. Secara teori memang hal ini dapat diwujudkan namun secara prakteknya akan sangat sulit. Alasannya, karena ada gerakan dari lingkar kekuasaan yang berupaya sekuat tenaga menggagalkan terbangunnya poros ketiga itu. Baik melalui tekanan politik maupun imbalan uang.

Namun, di sisi lain ada juga berita bahwa sejumlah Parpol akan tertarik untuk membangun koalisi di luar Jokowi dan Prabowo asalkan disertai dengan mahar yang sangat tinggi. Disebut-sebut angkanya mencapai 500 Miliar sampai dengan 1 Triliun. Tentu "prasyarat" tersebut akan menjadi hambatan besar bagi pihak yang memiliki potensi untuk maju sebagai Capres dan Cawapres.

Melihat kondisi ini, satu-satunya harapan rakyat agar demokrasi kembali tegak di negeri ini akan sangat bergantung pada palu para hakim MK. Dalam kurun waktu 30 hari ini, MK memiliki tanggung jawab sejarah yang besar apakah putusan terhadap Uji Materi PT 20% dikabulkan atau tidak. Kalau MK menolak, apalagi MK berada di bawah tekanan penguasa, maka MK akan turut bertanggung jawab bahwa seolah-olah negeri ini hanya diberikan pilihan untuk menerima kembali Jokowi sebagai Presiden di tahun 2019. Mengapa?

Karena dengan membatasi pilihan rakyat antara Jokowi melawan Prabowo maka akan dapat dipastikan bahwa Jokowi akan menang atas Prabowo. Sebaliknya, jika MK mengabulkan permohonan Uji Materi PT 20%, yang hal tersebut justru sesuai dengan akal sehat dan logika, maka MK akan memiliki andil terhadap makin hidupnya demokrasi dan makin adilnya sistem politik di negeri ini. Keputusan MK tersebut akan membuka jalan bagi sejumlah pasangan calon di luar Jokowi dan Prabowo yang posisinya masih "terkunci" saat ini.

Sebenarnya MK tidak perlu merasa bersalah kepada pihak penguasa apabila mengabulkan uji materi ini. Sebab, peluang Jokowi untuk terpilih kembali sangatlah memungkinkan dan tetaplah terbuka. Namun, apabila rakyat memang tidak menghendaki Jokowi sebagai presiden lagi, itu juga bukanlah kesalahan MK. Artinya rakyat sendiri yang memang berkeinginan agar presidennya diganti.

Singkatnya, MK harus berada di sisi sejarah yang benar, lantaran berpihak kepada konstitusi dan keinginan rakyat. Hal inilah yang menjadi justifikasi mengapa MK memiliki tanggung jawab sejarah yang sangat besar dalam menyelamatkan demokrasi Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun