Jery suka berdiskusi dengan gue. Mungkin gue satu-satunya orang diwarung kopi itu yang masih mau diajak ngobrol serius. Dia sangat semangat kalau nanya tentang opini politik gue. Walaupun sebenarnya gue agak apatis akhir-akhir ini dan cenderung oportunis tapi Jery tidak pernah bosan minta diajari tentang teori dialektika sejarah Hegel atau tentang teori benturan peradaban Samuel Huttington.
Mungkin karena itu dia jadi memanggil gue dengan sebutan 'kawan filsuf' padahal biasanya dia panggil orang dengan sebutan bang atau coy tak perduli umurnya. Tapi lebih mending karena sebelumnya dia sempat memanggil gue dengan sebutan 'sufi' gara-gara gue ikut pengajian Hizbut Tahrir dimesjid depan gedung femina. Kata Filsuf dia dapat dari bang hamdan yang meminjam baca buku gue tentang Sartre karangan T.J Levine. Jery memang jagonya kopi paste. Sama kaya kopi hitam yang selalu dia minum setiap sore.
Jery memang bisa terlihat seperti siapa saja. Dimata gue dia seperti Marx yang berusaha keras menyelesaikan Das Kapital nya sebelum dilumat oleh paru-paru basah. Atau seperti seorang alkemis didalam novel Paulo Coelho, walaupun satu-satunya hal yang pernah gue lihat dirubah dengan ajaib olehnya hanyalah sebuah uang logam Rp 500 menjadi sebatang rokok samsu yang dia hisap dipinggir lapangan setia budi sambil cengar-cengir menunggu teman ngobrol.
Tapi gue suka melihat Jery sebagai seorang peziarah, sama seperti gue, seorang peziarah yang sedang mencari jalan pulang.
Jery seperti orang dalam lirik lagu Semisonic... maybe tomorrow, i'll found my way... home
Pernah gue kasih Jery celana bekas pakai gue. Lama gue lihat dia tidak memakai celana itu dan ternyata lebaran haji tahun itu dia memakainya sambil cengar-cengir menunggu orang selesai solat ied.
Jery tidak pernah solat, puasa dan menjalankan rukun islam lainnya, dia pernah nanya bagaimana seharusnya orang yang percaya bahwa ada Tuhan namun tidak percaya agama. Gue bilang kata yang cocok adalah 'agnostik'. Dan seperti biasa Jery langsung kopi paste sehingga setiap orang yang menanyakan agamanya dia akan bilang 'saya agnostik'.
Jery memang unik. Ia tidak pernah mengeluh tentang kesulitan hidup, apalagi penyakitnya. Ia tidak pernah mau diberi uang namun tidak akan menolak bila ditraktir kopi dan indomie, apalagi sebatang samsu.
Bronchitis telah memberitahunya bahwa waktunya telah usai didunia ini. Seperti chairil anwar yang ingin hidup seribu tahun lagi. Namun bila telah tiba waktunya, apa bedanya mati hari ini atau esok.
Selamat jalan kawan filsuf. R.I.P...... Rest  In your Pilgrim journey
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H