(mengenang Pramoedya Ananta Toer 1925-2006)
Aku menatap wajahnya dengan hikmat. Senyumnya yang menyisakan misteri bagiku. Apakah itu berarti menertawakan kehidupan yang baru akan dimasukinya atau menertawakan kami yang masih berenang digenangan keabsurdan. Ia selalu menjelaskan dan menimbulkan pertanyaan sekaligus bagi kami.
Peti itu ditutup dan siap diberangkatkan. Tubuhnya yang didalam ikut terangkat oleh karenanya. Dibawa menuju pembaringan terakhir bagi jasadnya. Aku menyeka keringatku. Mungkin terus mengucur karena sesaknya udara oleh para pelayat. Aku mengalihkan prosesi dengan sibuk mengurusi diriku sendiri. Berharap siksaan ini cepat berakhir atau malah ini semua hanyalah mimpi.
Aku melihat bayangan diriku pada etalase toko didepanku ini. Berganti-gantian dengan padangan pada sepasang sepatu kulit Itali. Ia terus berganti-gantian sesuai dengan preferensiku antara diriku dan sepatu itu. Aku tak dapat menjelaskan preferensiku atau malah ide dibalik obyek didepanku ini.
Aku berharap ia masih dapat kutemui dan kutanyakan jawaban dari permasalahku ini. Namun kau hanya dapat mengartikan jawabannya dari catatan-catatannya yang ditinggalkan olehnya. Mencoba mencari penafsiran dan sudut pandang baru dari hal kontekstual yang pernah ditulisnya untuk permasalahan yang kuhadapi sekarang. Ia telah pergi meninggalkan kita semua.
Aku telah lelah berkompetisi dengan orang-orang yang hidup sebelumku dalam menemukan dan menjelaskan hal-hal yang baru. Dan kini beban tanggung jawabku ditambah dengan berkompetisi melawannya. Mengalahkan kualitas dan kuantitas historis yang pernah ditemukan dan dijelaskan olehnya. Belum lagi mengingat eksplorasi estetika yang pernah dilakukannya. Membuat sebah perutku bertambah.
Aku tak dapat melupakannya. Kata-katanya dan interpretasi atas argument-argumennya. Ia telah menjadi alter ego bagiku. Mengapung menjelaskan semua hal hingga tak ada yang tersisa untukku. Dan ketika kesadaran itu menyeruak aku ingin menggali tanah kuburanmu. Bukan untuk bertanya jawabannya namun untuk memberikanku lagi pertanyaan. Agar aku dapat hidup kembali dengan misi-misi itu. Kau telah dikuburkan bersama dengan semangat hidupku.
Lampu petromak tersebut mulai redup sesekali. Begitu juga dengan kesadaranku yang menatap benda tersebut. Ia flip-flop seiring dengan nyala lampu. Aku mulai bertanya apakah begitu juga dengan peradaban manusia. Satu orang gila dapat menceburkan kelumpur satu bangsa. Yang menatap kesadaran orang gila itu dengan filp-flop. Sehingga terhipnotis dan menurut perintahnya. Satu bangsa dapat dikumpulkan oleh satu orang untuk melakukan hal-hal gila. Menciptakan abad kegelapan seperti kegelapan warung kopi ini yang ditinggal oleh petromak. Kesadaran manusia yang lemah akan mengasosiasikan diri dengan kesadaran lain yang konstan dan bergerak lamban. Hingga akhirnya tidak sadar sama sekali dan bergerak cepat bagai robot.
Aku pernah meminum air dari gelasmu dan menyisakan sisanya untuk nanti. Karena kau yang mengajariku bahwa selalu akan ada hari esok yang lebih cerah. Kau selalu bahwa zaman pasti berganti. Tirani pasti mati. Dan kegelapan tak mungkin tak berkesudahan. Namun bagiku kemajuan ini pun hanya semu. Kami tak pernah benar-benar berpikir. Kami tak pernah benar-benar bekerja. Kami hanya bersandiwara. Meniru dan bergurau. Namun tetap saja kosong dan nonsense.
Aku merindukan pantai. Apa saja terserah, walaupun hanya memandangnya dari balik terali besi. Asal jangan kepura-puraan ini. Namun kau akan menolaknya. Kebebasan selalu ada harganya. Tetapi hargaku adalah menjaga agar selalu sadar. Dan tidak terhipnotis oleh flip-flop.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H