Beranikah kita bertanya seperti ini: masa depan macam apa yang akan dibangun oleh sebuah bangsa yang melanggengkan kekerasan dalam pendidikan? Perpeloncoan dan kekerasan fisik maupun verbal di lingkungan pendidikan sama sekali tidak menunjukkan apa-apa selain bodohnya kita sebagai kalangan yang dengan bangga (atau mungkin naif) mengaku terdidik namun ternyata bermental kerbau. Lingkungan pendidikan menjadi tak ubahnya sebuah peternakan: jika tidak 'mati' di tempat, maka lolos kemudian disembelih mesin industri.
Menjelang tahun akademik baru di berbagai universitas di Indonesia, selain riuhnya berbagai seleksi masuk perguruan tinggi, terdapat satu hal yang setiap tahun menyita perhatian publik yaitu agenda Pengenalan Kehidupan Kampus Bagi Mahasiswa Baru atau yang oleh masyarakat awam akrab disebut sebagai Ospek. Berbagai acara penyambutan dan pengenalan lingkungan kampus bagi mahasiswa baru selama ini telah dianggap sebagai sebuah tradisi tahunan yang wajib dilaksanakan di berbagai universitas di Indonesia. Meski namanya adalah pengenalan kehidupan kampus, kegiatan ini sering disusupi dengan tindakan yang berbau kekerasan oleh senior mahasiswa kepada juniornya. Alih-alih memberikan wawasan terhadap dunia perkuliahan, kegiatan tersebut justru kerap kali menjadi tempat tumbuh suburnya budaya kekerasan di lingkungan pendidikan.
Kegiatan Ospek memiliki sejarah yang panjang dalam dunia pendidikan di Indonesia. Kegiatan semacam ini sudah ada sejak era kolonialisme Hindia-Belanda. Roem dalam Buku “Bunga Rampai dari Sejarah Jilid 3” menjelaskan bahwa kegiatan Ospek sudah dilaksanakan pada saat dirinya masuk ke Stovia atau Sekolah Dokter Bumiputera pada tahun 1924. Mereka menyebut kegiatan tersebut dengan nama Ontgroening sebab istilah Ospek belum dikenal pada saat itu. Groen berarti hijau yang bermakna mahasiswa-mahasiswa baru masih 'berwarna hijau' atau masih muda dan kegiatan Oentgroening dimaksudkan agar dapat menghilangkan 'warna hijau' itu sehingga mahasiswa menjadi dewasa dan dapat saling mengenal antar sesama rekan-rekannya di Stovia. Di Stovia kegiatan Oentgroening dilaksanakan selama bertahun-tahun, namun karena pengawasan yang sangat ketat, tidak pernah ada kejadian-kejadian tidak menyenangkan yang melampaui batasan.
Tradisi Ospek masih berlanjut pada masa kependudukan Jepang di Indonesia. Sekolah Kedokteran Daigaku adalah salah satu kampus yang mengadakan kegiatan Ospek. Pada saat itu istilah 'perpeloncoan' pertama kali dikenal untuk menggantikan Ontgroening. Pelonco berarti gundul yang menyimbolkan anak-anak. Mahasiswa baru dianggap masih anak-anak dan belum dewasa.
Perpeloncoan masih tetap diadakan pada masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia dan dalam perkembangannya kemudian namanya diubah beberapa kali dalam kurun waktu 60-an hingga 90-an awal. Pada era 90-an itulah istilah Ospek (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus) muncul. Kini istilah Ospek di berbagai universitas umumnya telah diubah namanya menjadi Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru. Kegiatan serupa juga dilaksanakan di lingkungan sekolah menengah yang dikenal dengan istilah MOS (Masa Orientasi Siswa).
Apabila kita menilik pada konteks sejarahnya, Ospek merupakan kegiatan yang dilaksanakan untuk menumbuhkan kedewasaan bagia para mahasiswa baru, mengenalkan mereka pada lingkungan kampus, dan yang utama tentu untuk membentuk sikap hormat terhadap seniornya . Namun, yang harus diperhatikan adalah bahwa pada masa itu Indonesia masih berada di bawah kolonialisme Hindia-Belanda. Tradisi-tradisi tersebut, di samping memang dilakukan demi mendewasakan para mahasiswa, terdapat maksud-maksud untuk melanggengkan feodalisme—tatanan sosial yang mengagungkan jabatan dan kedudukan—karena terdapat unsur-unsur kekerasan yang memaksa mahasiswa untuk hormat dan tunduk terhadap seniornya. Budaya yang feodal semacam itu memang ditumbuhkan tidak hanya sebatas pada lingkungan pendidikan namun juga tatanan sosial di masyarakat yang luas yang mana rakyat dengan strata sosial yang rendah dipaksa tunduk dan hormat pada kaum yang memiliki strata sosial lebih tinggi. Hubungan sosial yang feodal pada masa kolonial dimaksudkan agar para bangsawan dan pejabat tetap dapat menghegemoni kekuasaan mereka terhadap rakyat jelata.
Setelah Indonesia lepas dari kolonialisme Hindia-Belanda, feodalisme masih tetap tertanam kuat dalam masyarakat Indonesia, tidak terkecuali di lingkungan pendidikan. Kekerasan dalam Ospek yang dilakukan atas nama senioritas adalah bukti bahwa feodalisme dalam masyarakat kita tidak pernah benar-benar hilang. Dalam beberapa tahun terakhir, tak terhitung lagi berapa kali media-media massa arus utama memberitakan adanya dugaan tindak kekerasan fisik maupun verbal yang menimbulkan korban selama kegiatan Ospek maupun MOS. Memang tidak adil apabila kita mengidentikkan Ospek dengan kekerasan, namun adanya kejadian kekerasan dalam Ospek yang hampir setiap tahun terjadi adalah fakta yang tidak bisa kita tutupi bahwa kekerasan masih subur di lingkungan pendidikan. Tentu bukan lingkungan semacam itu yang bisa kita percayakan dalam mendidik generasi muda kita.
Bertahun-tahun, jatuhnya korban akibat kekerasan fisik maupun verbal selama kegiatan Ospek adalah cerminan betapa masih busuknya pendidikan kita. Mirisnya kita tidak juga segera menyadari bahwa budaya senioritas yang mengarah kepada feodalisme benar-benar sudah tidak sepantasnya tumbuh dalam lingkungan pendidikan dan memang tidak layak sama sekali ada dalam lingkungan masyarakat yang mengaku beradab. Kekerasan dalam Ospek masih terus berlanjut dan dianggap wajar karena justru diakui sebagai sebuah tradisi di lingkungan pendidikan sehingga terus dilestarikan dan menjadi mata rantai yang sulit diputus. Kita sebagai bangsa yang mengaku beradab bisa sesumbar menentang feodalisme, namun nyatanya masih melanggengkan senioritas dalam pendidikan. Sebuah hipokrisi yang munafik.
Selain itu, Ospek yang dijejali dengan kekerasan sudah secara terang-terangan menunjukkan bahwa kita sebagai warga akademik yang dianggap sebagai kalangan terdidik justru tidak dapat melihat konteks sejarah dan belajar darinya untuk menentukan sikap yang bijak sehingga mampu menyiapkan lingkungan pendidikan yang kondusif bagi generasi muda kita dalam rangka menghadapi tantangan peradaban. Kecuali jika memang pendidikan kita sekadar bertujuan menyiapkan sekumpulan kacung-kacung atau membentuk generasi muda menjadi sekrup dan baut di mesin-mesin industri. Bukan untuk “mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan dan memperhalus perasaan” sebagaimana diamanatkan oleh Tan Malaka. Betapa banyaknya negara-negara lain yang tidak menggunakan kekerasan dalam pendidikan justru mampu meraih kemajuan dalam mencerdaskan bangsanya. Berbanding terbalik dengan Indonesia yang dengan bangga selama berpuluh tahun mengisi pendidikan dengan kekerasan namun lupa untuk melihat di mana dan siapa dirinya.
Tidak mudah untuk meruntuhkan sebuah tradisi dan merombak kebiasaan-kebiasaan yang sudah terbangun selama berpuluh-puluh tahun. Terlebih lagi kita memang bangsa yang bebal dan sukar untuk mau melihat ke belakang dan belajar dari apa yang sudah terjadi sehingga mampu mengaplikasikannya sesuai konteks masa kini. Melihat kenyataan bahwa kekerasan masih marak terjadi selama kegiatan ospek, kita sebenarnya tidak perlu melarang atau menghilangkan sama sekali kegiatan tersebut. Terlebih jika memang Ospek dianggap masih memiliki peran penting dalam menyiapkan peserta didik baru mengenali lingkungan pendidikannya. Yang harus dihilangkan adalah budaya-budaya yang mengarah kepada kekerasan atas nama senioritas. Pendidikan tidak selayaknya diisi dengan kekerasan jika tidak sejalan dengan tujuan pendidikan itu sendiri. Entah bertujuan membentuk karakter, menumbuhkan kedewasaan mahasiswa baru, atau apapun itu, kekerasan tanpa dasar dan tujuan yang jelas dalam dunia pendidikan tetap tidak dapat diterima. Lagipula, membentuk sikap hormat dengan paksaan dan kekerasan justru menunjukkan bahwa kita sesungguhnya sedang mengalami krisis kehormatan.