Pasca jatuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, terjadi transisi pusat proses politik yang awalnya berfokus pada pemerintah pusat (sentralisasi) menuju pembagian kekuasaan ke daerah (desentralisasi) yang didukung dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 (yang kemudiam direvisi menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004) tentang Pemerintahan Daerah. UU Nomor 22 tahun 1999 merupakan hasil dari gerakan reformasi yang membawa tuntutan agar diwujudkannya otonomi daerah seluas-luasnya. Salah satu konsekuensi dari diselenggarakannya tata pemerintahan yang desentralistik dan demokratis adalah hadirnya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung oleh rakyat. Pilkada memberikan warna yang lebih dinamis dalam proses politik di daerah karena proses politik di daerah tidak lagi dikontrol dan dimonopoli oleh kekuatan politik pusat sebagaimana yang terjadi selama Orde Baru. Pilkada secara langsung yang demokratis kemudian menjadi arena pertarungan partai-partai dan elit-elit politik untuk mendapatkan simpati dari rakyat dan memperoleh kekuasaan politik di daerah.
Meskipun secara formal peserta Pilkada merupakan calon kepala daerah yang diusung oleh partai politik, partai dan calon kepala daerah tidak serta merta memegang penuh kontrol atas dinamika dan proses politik di daerah. Kultur kedaerahan sebagian besar masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia yang masih memegang teguh kepatuhan pada elit-elit lokal membuat elit-elit tersebut mempunyai pengaruh yang kuat dalam menentukan preferensi dan sikap politik masyatakat. Sebagai contoh, di sebagian besar daerah di Jawa Timur di mana masyarakatnya merupakan mayoritas merupakan basis massa Nahdlatul Ulama (NU) atau biasa disebut sebagai kaum Nahdliyin masih memegang kepatuhan yang kuat dan loyal kepada figur kyai dan ulama terutama di wilayah pondok pesantren. Loyalitas masyarakat tersebut membuat kyai dan ulama memegang peran yang sentral dalam dinamika proses politik di daerah, sehingga mereka tidak hanya bisa dikatakan sebagai elite agama namun juga elite politik
Dinamika proses politik yang banyak dipengaruhi oleh elit politik dari figur kyai dan ulama masih terjadi di banyak daerah. Tuban adalah daerah di Jawa Timur yang mengalami dinamika politik yang serupa yang mana kyai sebagai elit agama menjelma menjadi elit politik yang dapat mempengaruhi dan menggerakkan basis massa mereka terutama menjelang berlangsungnya Pilkada. Tuban sebagai daerah yang sebagian besar masyarakatnya terafiliasi dengan NU tidak hanya secara struktural dalam organisasi namun juga secara kultural, masih sangat teguh dalam memegang prinsip untuk patuh terhadap kyai mereka hingga memunculkan istilah 'opo jare kyai'Â (apa kata kyai) yang mencerminkan betapa mereka sangat loyal terhadap kyai.
Menurut Abdul Chalik (2017) dalam bukunya yang berjudul "Pertarungan Elite dalam Politik Lokal" menjelaskan bahwa kyai memang merupakan figur sentral yang memiliki pengaruh yang kuat dalam masyarakat. Terdapat beberapa faktor yang memandang mengenai alasan di balik peran kyai dalam politik. Yang pertama adalah bagaimana kyai-kyai tersebut menjaga nilai-nilai keislaman. Kemudian kyai mempunyai kekuasaan yang digunakan untuk merebut dan menggunakannya untuk kemanfaatan masyarakat Islam. Selanjutnya adalah guna memperjuangkan aspirasi umat Islam itu sendiri.
Keteguhan masyarakat Tuban yang sebagian besar merupakan Nahdliyin terhadap kyai mereka tentu sangat disadari oleh partai-partai dan elit-elit politik setempat. Mereka sadar bahwa untuk memperoleh simpati masyarakat Tuban tanpa melalui kyai mereka merupakan usaha yang sangat berat jika tidak boleh dikatakan tidak mungkin. Dalam proses pemilu legislatif pun, caleg-caleg di luar Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai partai dengan basis massa NU yang kuat juga berusaha menggaet massa melalui kyai. Maka dalam proses Pilkada di mana kekuatan figur lebih kuat dibandingkan dengan latar belakang partai yang mengusung mereka, membangun citra diri yang dekat dengan kyai yang merepresentasikan basis massa NU merupakan usaha yang umum ditempuh. Usaha-usaha untuk mencitrakan diri sebagai figur yang dekat dengan kyai terlihat dari bagaimana tokoh-tokoh yang berniat mencalonkan diri sebagai kandidat calon bupati Tuban dalam Pilkada 2020 melakukan sowan atau kunjungan ke kyai-kyai terutama di wilayah pondok pesantren. Kunjungan tokoh-tokoh politik ke kyai kerap dianggap sebagai upaya untuk menjaga tradisi silaturahmi antara ulama dan umara atau pemimpin. Namun apabila kita melihat hal tersebut dalam kaca mata politik (dan nyatanya kerap terjadi selama masa kontestasi politik) yang mana para tokoh-tokoh tersebut tentu mempunyai kepentingan untuk meraih simpati dari basis massa yang loyal dengan kyai, sulit untuk membayangkan agenda sowan tersebut sama sekali tidak bermuatan kepentingan politik.
NU yang selama ini dikenal sebagai organisasi berbasis sosial dan keagamaan kerap menjaga diri dari sikap politik yang bersifat praktis dan lebih membangun citra politik keumatan dan kebangsaan meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa basis massa mereka kerap diasosiasikaan terafiliasi dengan partai tertentu terutama PKB. Hal yang sedikit berbeda terjadi di Tuban. PCNU Tuban secara terang-terangan bekerjasama dengan PKB Tuban untuk membentuk sebuah tim bernama TIM 9 yang bertugas untuk menjaring figur yang akan dicalonkan dalam Pilkada 2020. Terlihat bagaimana NU sebagai organisasi keagamaan telah masuk sangat jauh dalam proses politik praktis, bahkan bekerjasama dengan partai politik.
Tidak ada yang salah dengan melakukan kunjungan ke kyai sebagai elit agama yang memiliki basis massa yang luas dan kuat. Pun wajar saja jika sebuah organisasi masyarakat berbasis keagamaan memasuki proses politik praktis begitu jauh. Hal tersebut merupakan agenda politik biasa bahkan kerap terjadi di banyak daerah bahkan di tingkat nasional. Di mana pun, demokratisasi tidak pernah lepas dari bias-bias tradisi lokal. Yang menjadi masalah adalah apabila proses politik kemudian menjadi sangat pragmatis dengan menjadi arena pertarungan yang hanya mengandalkan kekuatan citra diri—yang dalam hal ini adalah kedekatan dengan kyai—dan mengesampingkan kekuatan gagasan sebagai calon pemimpin untuk membangun daerah.
Masyarakat yang berada di daerah dengan bias politik dan primordialisme agama yang kuat, kerap terjebak pada situasi di mana proses-proses politik hanya mengandalkan citra 'siapa yang paling agamis' dan 'siapa yang paling tidak agamis'. Dalam konteks Pilkada Tuban, masyarakat disuguhi panggung politik yang menjadi arena pertarungan para elit-elit politik yang sangat pragmatis dengan hanya menonjolkam kedekatan mereka dengan kyai agar dapat membangun citra sebagai sosok yang agamis dan dekat dengan basis assa Nahdliyin demi mendapatkan simpati masyarakat. Padahal pembangunan daerah tidak cukup dilakukan hanya dengan mengandalkan citra diri sebagai sosok yang agamis mengingat Tuban masih memiliki berbagai pekerjaan rumah terutama dalam pengentasan kemiskinan dan konflik agraria yang belum terselesaikan sehingga membutuhkan program-program yang solutif untuk menyelesaikan berbagai masalah tersebut. Alangkah memuakkannya apabila figur-figur tersebut, yang katanya mencalonkan diri demi membangun daerah, ternyata hanya luar biasa dalam menunjukkan betapa agamis dirinya namun menyuguhkan setumpuk program yang biasa-biasa saja.
Di lain sisi, sangat bisa dipahami apabila figur-figur politik tersebut bersikap pragmatis dengan membangun citra diri dekat dengan kyai karena sebagian besar masyarakat Tuban sebagai pemilih dalam Pilkada memang merupakan masyarakat yang lebih melihat citra personal seorang pemimpin dibandingkan dengan program-program yang diusung padahal program-program tersebut yang akan dirasakan langsung oleh mereka. Maka dalam hal ini peran elit-elit agama maupun politik sangat dibutuhkan dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat dengan tidak hanya mempertarungkan citra personal melainkan beradu program-program yang dapat membangun daerah menuju ke arah yang lebih baik, karena selama ini citra agamis yang dibangun oleh elit-elit politik nyatanya tidak mampu membawa perubahan signifikan terhadap pembangunan di Kabupaten Tuban.
Pada akhirnya, masyarakat sendiri sebagai pemilih yang akan menentukan apakah mereka akan terus terjebak dalam bias identitas keagamaan dalam memilih seorang pemimpin dibandingkan dengan program-program yang mereka bawa. Meskipun tidak ada yang salah dengan memilih pemimpin yang dekat dengan basis massa mereka jika dianggap mampu merepresentasikan dan mengakomodir aspirasi mereka. Namun kita harus berkaca pada pengalaman kita sebagai pemilih dan berani mempertanyakan apakah citra agamis yang dibawa oleh pemimpin sudah cukup membawa perubahan yang signifikan terhadap pembangunan daerah kita?