(Dalam Pemikiran Jean Baudrillrad)
Siapa yang tidak kenal dengan fitur instagram stories? Fitur dalam sosial media besar instagram yang mengizinkan kita membagikan foto/video yang bisa disertai musik, gif lucu, dan filter-filter lain yang tersedia dan dimiliki Instagram sendiri ataupun dibuat oleh sesama pengguna. Kemudahan penggunanya dengan segudang fiturnya membuat instagram stories sangat digemari para penggunanya. Untuk menyuarakan opini, membagikan hal yang disukai, dan bahkan untuk membagikan momen kehidupan sehari-hari dan juga momen yang dianggap penting.
Fitur ini tidak hanya untuk sekedar tujuan non komersil. Tapi juga dapat digunakan untuk mencari keuntungan, istilah seperti influencer sebagai orang yang memiliki banyak pengikut dapat memberikan layanan iklan dan mengiklankan produk tertentu melalui instagram stories. Kita juga harus memahami bahwa interaksi sosial dewasa ini tidak hanya terjadi pada realitas yang nyata, tapi mengalami peralihan kepada ruang (cyberspace) yang terartifisal melalui teknologi komunikasi.
Komputer sebagai alat terciptanya ruang siber ini menghasilkan produk yang berasal dari pusat interaksi menyebar dari yang sedemikian rupa sebagai simulasi ruang publik dan private. Hasilnya adalah informasi dan budaya, Budaya Komputer menurut Baudrillrad (Haryatmoko, 2016: 74) bukan sebagai refleksi tapi untuk bereaksi. Lihat bagaimana arus informasi bergerak begitu cepat dikonsumsi hingga menyebar ke dalam lapisan yang tak terbatas, keahlian beropini sebagai reaksi adalah yang utama. Â dengan terciptanya tahap akhir yang disebut viral, menciptakan kausalitas yang mematikan makna dan berujung pada post-truth.
Pada influencer yang menggunakan fitur instastories ini sebagai endorse/iklan terdapat durasi yang disediakan oleh instagram stories ini adalah kurang lebih 14 detik,  dengan meminjam konsep strukturalisme untuk iklan sebagai struktur demikian yang dibuat mengacu pada hubungan tanda adalah bentuk dari struktur yang distrukturkan, tidak hanya berupa suara tapi dikombinasikan juga dengan bentuk visual. Dan penanda mengacu pada makna  yang ada pada petanda yang meliputi kode, tanda, dan simbol yang ada pada unggahan endorse tersebut.
Jean Baudrillrad (1929-2007) sebagai pemikir Prancis era kontemporer, juga sebagai salah satu tokoh pos strukturalisme yang mengkritik strukturalisme sekaligus kekecewaan pada marxisme. Memandang tanda tidak hanya berada pada teks, dunia dikonstruksi melalui bahasa, dan bahasa bukanlah medium netral. Praktik penataan tanda mengarahkan konsumsi akan gambar, fakta dan informasi (Haryatmoko, 2016: 65)
Tanda dalam pemikiran Baudrillrad diuraikan sebagai realitas itu sendiri, Â ini juga menghilangkan petanda-penanda sebagai oposisi biner, suatu tanda rill dianggap sebagai suatu yang rill itu sendiri. Konsumsi menurut Baudrillrad sebagai sistem yang menjamin tatanan tanda-tanda itu dan mengintegrasi kelompok.
Jika kita alihkan pada fitur yang ada pada instagram, seperti Instagram Stories.  Dalam durasi 14 detik tersebut kita melihat suatu sistem tanda yang menghubungkan antara penanda-petanda. Dikatakan juga sebagai manipulasi tanda, dalam (Haryatmoko, 2016: 76) menyatakan media massa memiliki operator mistik dalam ranah wartawan dan agen iklan, hanya ketika melihat sosial media  Influencer lah tokohnya yang berperan sebagai aktor mistik,tampil dalam kamera, membesar-besarkan obyek dan kejadian.
Influencer juga turut menciptakan suatu simulasi, bukan lagi didefinisikan sebagai konsep, hanya lebih mengarah pada suatu upaya menciptakan suatu realitas melalui model riil tanpa asal-usul. Simulasi membentuk proses representasi atas objek  yang justru kemudian berubah menghilangkan sekaligus mengganti objek itu sendiri. Representasi menjadi acuan yang lebih penting daripada objek tersebut, saya juga akan lebih memfokuskan pada studi kasus tertentu,
Dalam (Irawan dan Ramadan, 2018) Influencer/Selebgram dapat membangun persepsi bagi pengikutnya dengan menghadirkan eksistensi individu dan menghasilkan citra diri menjadi kunci konsep pemasaran digital produk fashion. Ini juga dapat dikatakan Sistem tanda sekaligus manipulasi tanda diciptakan sebagai rangsangan masyarakat konsumeris, bukan hanya permainan tanda dalam visual, teks, dan audio. Tapi juga melalui interaksi yang dilakukan dalam ruang siber tersebut dan tercipta hubungan kedekatan antara pengikut dan influencer yang sebenarnya semu. Sekali lagi dikatakan pada representasi dalam simulasi yang mengabstraksikan makna sekaligus mematikannya.
Kecantikan menjadi tuntutan mutlak untuk perempuan, hanya konsep-konsep cantik dalam penampilan mulai mengalami persaingan dengan kecantikan sikap, etika, dan yang terpenting bagaimana seseorang menghargai dirinya dengan konsep self-love yang mulai dikampanyekan melalui ranah disiplin psikologi. Meskipun begitu kecantikan atau keindahan sebagai materi tanda yang dapat dipertukarkan. Berfungsi sebagai nilai lebih untuk pemaknaan.
Ini membawa kepada arah pemujaan terhadap tubuh, tubuh tidak lebih material ketimbang jiwa. Tubuh telah menjadi gagasan atau obyek yang diutamakan. Tidak hanya oleh perempuan tapi juga banyak laki-laki yang memiliki obsesi tubuh berotot dan six packs rela berlatih keras untuk membentuk peroleh yang diinginkan. Fungsi mendapatkan tubuh ideal, adalah cita-cita narcistik. Tubuh bergerak menjadi mitos penggerak hasrat konsumsi, jalan intergasi individu pada lingkungannya, dan menjadi alat kontrol sosial (Haryatmoko, 2016: 79)
Rujukan
Haryatmoko, M. R. K. (2016). Pemikiran Kritis Post-Strukturalis. Yogyakarta: Kanisius.
Irawan, E. F., & Ramdhan, A. (2018). Pengaruh Visualisasi Foto OOTD (Outfit of The Day) Selebgram Sebagai Strategi Promosi Produk Fashion Terhadap Persepsi Wanita. Jurnal Desain Idea: Jurnal Desain Produk Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, 17(2), 6-11.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H