Masalah terakhir adalah bagaimana Ketuhanan sering kali hanya berhenti di permukaan. Kita diajak percaya, tapi jarang diajak berpikir lebih dalam. Misalnya, dalam banyak acara kenegaraan, doa bersama selalu ada di awal. Tapi apa setelah itu? Jarang sekali ada diskusi mendalam tentang bagaimana nilai Ketuhanan ini bisa diwujudkan dalam kebijakan yang benar-benar adil untuk semua pihak.
Dalam istilah Nietzsche, ini adalah moralitas kawanan: ketika manusia sibuk mengikuti ritual tanpa mempertanyakan makna sebenarnya. Kita melakukan semua itu karena "begitulah seharusnya," bukan karena kita sungguh-sungguh memahami tujuannya. Ketuhanan yang Maha Esa terlalu sering terjebak dalam formalitas, tanpa esensi.
Nietzsche dan Pelajaran untuk Kita
Nietzsche sebenarnya tidak anti-Tuhan. Ia hanya anti terhadap Tuhan yang digunakan untuk menekan manusia. Kalau dia hidup di Indonesia, dia mungkin akan bilang: "Kalau mau Ketuhanan yang Maha Esa itu relevan, maka ia harus menjadi inspirasi, bukan sekadar aturan yang dipaksakan." Ketuhanan harus jadi alasan bagi manusia untuk menghormati perbedaan, bukan malah membuat mereka merasa lebih unggul dari yang lain.
Sila pertama seharusnya mendorong manusia untuk berpikir lebih besar. Nietzsche, dengan gagasan bermensch-nya (manusia unggul), mengajak manusia untuk menciptakan nilai-nilai baru yang memberdayakan. Kalau diterapkan dalam sila pertama, kita harus menjadikan nilai Ketuhanan sebagai pijakan untuk merangkul keberagaman. Ketuhanan yang benar-benar Maha Esa tidak membutuhkan pembelaan lewat politik atau diskriminasi. Ia justru membutuhkan pembelaan melalui sikap yang menghormati dan merangkul semua keyakinan.
Kesimpulan
Ketuhanan yang Maha Esa bukan soal siapa Tuhan yang paling benar, bukan soal siapa yang paling religius. Sila pertama adalah pengingat bahwa keimanan seharusnya menjadi landasan kita untuk hidup berdampingan, bukan hidup saling menjatuhkan. Kalau kita gagal memahami ini, Nietzsche mungkin akan mengingatkan lagi, "Hati-hati, jangan-jangan Tuhan yang kamu bela mati, bukan karena kritik, tapi karena lupa dipelihara esensinya."
Dengan memahami sila pertama secara lebih terbuka dan reflektif, kita bisa mewujudkan Ketuhanan yang benar-benar menjadi sumber kebaikan, bukan sekadar alat kontrol. Sebab di akhir hari, Ketuhanan yang terlalu dogmatis hanya akan membuat kita kehilangan makna, bukan menemukan harmoni.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H