"Ketuhanan yang Maha Esa" adalah sila pertama dalam Pancasila, dasar negara Indonesia. Kalimat ini sering kita dengar sejak SD, dan ia menjadi landasan moral yang melandasi hubungan antaragama di negeri ini. Tetapi kalau kita jujur---jujur banget---kadang sila ini terasa berat. Bukan karena konsep Ketuhanan itu sendiri salah, melainkan karena praktiknya yang sering terlihat kelewat dogmatis. Kalau Friedrich Nietzsche, filsuf Jerman yang terkenal dengan gagasannya "Tuhan telah mati," tahu soal ini, mungkin dia akan bilang, "Nah, ini nih masalahnya. Ketuhanan yang terlalu dogma malah bikin manusia lupa jadi manusia."
Nietzsche, filsuf yang terkenal karena pemikiran radikalnya, punya satu obsesi besar: membebaskan manusia dari belenggu dogma. Ia percaya bahwa Tuhan yang digembar-gemborkan institusi agama sering kali lebih mirip pengawas daripada pelindung. Tuhan versi ini, menurut Nietzsche, membuat manusia kehilangan keberanian untuk berpikir sendiri. Ketika Nietzsche berkata "Tuhan telah mati," yang ia maksud bukanlah kematian Tuhan secara literal, melainkan matinya kemampuan manusia untuk berani mendefinisikan nilai hidupnya sendiri.
Kalau kita kaitkan dengan sila pertama Pancasila, ini adalah peringatan penting. Apakah "Ketuhanan yang Maha Esa" benar-benar memberi ruang bagi semua orang untuk berpikir dan beriman dengan cara yang bebas? Atau, jangan-jangan, tafsir yang dogmatis justru mengerdilkan nilai luhur Ketuhanan itu sendiri?
Ketuhanan yang Kadang Nggak Ramah
Masalah pertama yang sering muncul dari sila pertama adalah tafsirnya yang terlalu sempit. Di atas kertas, sila ini bersifat inklusif. Semua agama diakui, semua keyakinan dihormati. Tapi kenyataan sering kali berkata lain. Orang-orang yang menganut kepercayaan tradisional atau keyakinan lokal sering kali dianggap warga kelas dua. Padahal, mereka juga percaya pada konsep ketuhanan. Nietzsche, kalau melihat ini, pasti bakal bilang, "Ini namanya monopoli atas Tuhan!"
Yang lebih miris, tafsir Ketuhanan ini kadang dipakai untuk mendiskriminasi kelompok tertentu. Misalnya, ketika sebuah keyakinan dianggap "nggak sesuai" dengan tafsir mayoritas, mereka bisa langsung mendapat cap "menyimpang." Bukannya menciptakan harmoni, tafsir semacam ini malah membangun tembok antara yang dianggap "kami" dan "mereka." Padahal, sila pertama seharusnya menjadi penghubung antarkeyakinan, bukan menjadi penghalang.
Ketuhanan yang Kadang Jadi Alat Politik
Masalah kedua adalah ketika sila pertama dipolitisasi. Di beberapa kesempatan, nilai Ketuhanan justru dipakai untuk mencari legitimasi atau menyerang pihak lain. Kita bisa melihat bagaimana simbol agama digunakan oleh beberapa politisi untuk menaikkan citra mereka. Dengan membawa-bawa sila pertama, mereka ingin terlihat lebih suci dibanding lawan politiknya.
Masalah muncul ketika tafsir Ketuhanan ini digunakan untuk menekan siapa saja yang berbeda pendapat. Orang yang tidak sesuai dengan pandangan mayoritas bisa dengan mudah dicap "tidak Pancasilais." Nietzsche pasti bakal geleng-geleng sambil bilang, "Lihat kan? Agama sudah berubah jadi senjata untuk berkuasa, bukan lagi sumber inspirasi."
Ketika Ketuhanan yang Maha Esa dipolitisasi, nilai spiritualnya hilang. Ia hanya menjadi alat untuk memperkuat dominasi kelompok tertentu. Padahal, sila pertama seharusnya menjadi fondasi untuk membangun rasa hormat dan toleransi di tengah perbedaan.
Ketuhanan yang Kadang Cuma Jadi Formalitas