Latar Belakang
Papua, wilayah yang kaya akan sumber daya alam dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, kini menghadapi ancaman besar: hilangnya hutan secara masif akibat eksploitasi yang tidak berkelanjutan. Deforestasi, yang didorong oleh berbagai kepentingan ekonomi seperti perkebunan kelapa sawit, penambangan, dan penebangan liar, merusak ekosistem alam yang selama ini menjadi penopang kehidupan masyarakat adat Papua.
Namun, di balik krisis ekologi ini, terdapat kelompok yang paling rentan terkena dampaknya: perempuan Papua. Mereka sering kali menjadi pihak yang paling terdampak, tidak hanya karena hubungan mereka yang erat dengan alam, tetapi juga karena peran gender yang membuat mereka lebih terpinggirkan dalam proses perubahan sosial-ekonomi yang terjadi di wilayah tersebut.
     Hilangnya Hutan Papua dan Dampaknya pada Kehidupan
Hutan di Papua bukan hanya menjadi penopang kehidupan ekologis, tetapi juga sosial-budaya masyarakat adat. Hutan menyediakan bahan makanan, air, obat-obatan tradisional, hingga tempat sakral bagi kepercayaan mereka. Hilangnya hutan berarti hilangnya akses terhadap sumber daya ini, yang selama berabad-abad menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat.
Bagi perempuan, hutan adalah sumber utama untuk memenuhi kebutuhan keluarga, seperti menyediakan bahan pangan, bahan bakar, dan tanaman obat. Ketika hutan semakin berkurang, perempuan sering kali harus menempuh jarak yang lebih jauh untuk mencari sumber daya tersebut, meningkatkan beban fisik dan waktu yang dihabiskan untuk pekerjaan sehari-hari. Selain itu, kehilangan hutan juga berarti hilangnya ruang aman untuk kegiatan budaya dan spiritual yang kerap kali diorganisir oleh perempuan.
    Mengapa Perempuan Paling Dikorbankan?
Terdapat beberapa alasan utama mengapa perempuan Papua menjadi kelompok yang paling dikorbankan dalam hilangnya hutan di wilayah mereka:
1. Peran Gender Tradisional
  Di banyak komunitas adat Papua, perempuan bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan dasar keluarga, seperti mengumpulkan makanan, air, dan kayu bakar. Dengan deforestasi, perempuan harus mencari sumber daya ini di tempat yang lebih jauh, yang tidak hanya memakan waktu dan energi lebih banyak, tetapi juga membuat mereka lebih rentan terhadap kekerasan di luar lingkungan aman.
2. Ketidakadilan Sosial dan Ekonomi
  Dalam konteks modernisasi dan perubahan ekonomi di Papua, perempuan sering kali tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan terkait penggunaan lahan. Hak-hak mereka terhadap tanah dan sumber daya alam seringkali tidak diakui secara formal, meskipun mereka memiliki hubungan erat dengan tanah dan hutan. Ketika lahan diambil alih untuk keperluan industri, suara perempuan cenderung diabaikan, yang membuat mereka kehilangan hak atas tanah dan mata pencaharian.
3. Eksploitasi Berlapis: Ekonomi, Budaya, dan Seksual
  Hilangnya hutan di Papua sering kali beriringan dengan masuknya perusahaan besar dan pekerja dari luar daerah. Ini membawa dampak sosial yang serius, seperti meningkatnya perdagangan manusia, eksploitasi seksual, dan kekerasan terhadap perempuan. Perempuan Papua yang sebelumnya terikat pada struktur sosial adat yang kuat, kini harus berhadapan dengan realitas ekonomi baru yang tidak memberikan perlindungan sosial yang memadai.
4. Krisis Pangan dan Kesehatan
  Hilangnya hutan juga mengurangi akses perempuan terhadap sumber makanan alami yang selama ini mereka kelola dan distribusikan dalam komunitas. Banyak komunitas yang bergantung pada hasil hutan untuk makanan pokok mereka, seperti sagu. Ketika akses terhadap hasil hutan menurun, krisis pangan pun muncul, dan perempuan sering kali menjadi yang paling terdampak, karena mereka bertanggung jawab atas pemberian makan bagi keluarga. Selain itu, hilangnya hutan juga berarti berkurangnya akses terhadap tanaman obat yang secara tradisional digunakan oleh perempuan untuk merawat kesehatan keluarga mereka.
>>Rincian Peristiwa dan Fakta Deforestasi di Papua<<
Data menunjukkan bahwa Papua telah kehilangan jutaan hektar hutan dalam beberapa dekade terakhir. Pada tahun 2020, sebuah laporan menyebutkan bahwa lebih dari 500 ribu hektar hutan di Papua telah hilang sejak 2000, sebagian besar disebabkan oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit dan penebangan hutan untuk bahan baku industri.
Perusahaan besar dari luar Papua dengan dukungan investor nasional dan internasional telah mendapatkan konsesi lahan yang luas di Papua untuk kegiatan penambangan dan perkebunan. Masyarakat adat sering kali tidak diberi pilihan selain meninggalkan tanah leluhur mereka, dengan sedikit atau tanpa kompensasi yang adil.
>>Studi Kasus<<
Sebuah contoh yang mencolok terjadi di Kabupaten Merauke, di mana proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) telah mengonversi ribuan hektar hutan menjadi lahan pertanian skala besar. Proyek ini menyebabkan hilangnya tanah ulayat (tanah adat) yang merupakan sumber kehidupan masyarakat, dan perempuan Merauke kehilangan akses ke hutan-hutan tempat mereka biasanya mengumpulkan makanan dan obat-obatan.
>>Respon dan Dampak<<
Hilangnya hutan Papua telah memicu berbagai reaksi dan respon dari masyarakat, terutama dari kelompok perempuan yang paling merasakan dampaknya. Beberapa respon kunci dari kelompok perempuan dan komunitas adat adalah sebagai berikut:
Advokasi untuk Hak Tanah dan Sumber Daya
Sejumlah organisasi perempuan adat di Papua semakin aktif dalam memperjuangkan hak-hak mereka atas tanah dan hutan. Mereka menuntut pengakuan lebih luas atas hak adat yang sering kali terpinggirkan dalam proses pengambilan keputusan mengenai alih fungsi lahan. Salah satu contohnya adalah gerakan-gerakan yang menuntut kembalinya hak ulayat (hak tanah adat) dan penghentian proyek-proyek industri besar yang merusak lingkungan.Penguatan Jaringan Komunitas Perempuan
Banyak kelompok perempuan di Papua yang mulai membentuk jaringan solidaritas untuk saling mendukung dalam menghadapi tekanan akibat hilangnya hutan. Mereka berkumpul untuk berbagi pengetahuan tentang cara mempertahankan sumber daya alam, mempromosikan kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan, serta mengadvokasi kebijakan yang lebih ramah lingkungan dan pro-perempuan.Penolakan Proyek Ekstraktif
Kelompok perempuan juga terlibat dalam aksi-aksi protes menolak proyek-proyek ekstraktif, seperti tambang dan perkebunan kelapa sawit. Mereka kerap turun ke jalan bersama para pemimpin adat dan aktivis lingkungan, menyuarakan kekhawatiran mereka tentang dampak jangka panjang dari perusakan hutan bagi generasi mendatang. Mereka menyadari bahwa tanpa hutan, kelangsungan hidup masyarakat adat, khususnya perempuan, berada dalam bahaya besar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H