Mohon tunggu...
Dimas Wira Adiatama
Dimas Wira Adiatama Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa Pendidikan Sosiologi, Universitas Negeri Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Pemuda dan Kehidupan Pasca Pandemi Covid-19

7 November 2020   07:00 Diperbarui: 7 November 2020   09:15 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kurang lebih telah delapan bulan Indonesia bergelut dengan pandemi COVID-19 beserta efek dominonya. Meskipun pandemi belum dinyatakan selesai oleh WHO, namun dapat dilihat dengan cukup jelas, dampak yang diciptakan oleh krisis ini. Mulai dari jatuhnya korban jiwa, terjadinya resesi ekonomi, PHK di sana-sini, perubahan metode pembelajaran, perubahan budaya, dan lain-lain.

Segala macam upaya telah dilakukan oleh negara beserta masyarakat guna merespon krisis ini, mulai dari PSBB, relaksasi perpajakan, pemberian sejumlah insentif, pelaksanaan PJJ, pembuatan jaring pengaman sosial (social safety net), penelitian terhadap vaksin, serta pembudayaan protokol kesehatan. Hasil akhir dari segala upaya tersebut nampaknya belum dapat dilihat dalam waktu dekat.

Selain menunggu pernyataan resmi dari WHO, suksesnya penelitian atas vaksin yang kemudian dilanjutkan dengan vaksinasi massal, digadang-gadang dapat mengakhiri pandemi COVID-19 di Indonesia. Atau jika mengadopsi pemikiran sosiolog asal Slovenia, yaitu Slavoj Zizek, pandemi COVID-19 akan berakhir seiring dengan penerimaan masyarakat atas “Normal Baru” (Slavoj Zizek, 2020:27).

Namun, muncul beberapa pertanyaan menarik, jika pandemi COVID-19 berakhir, apakah pandemi punya potensi untuk berulang? Ataukah ada potensi terjadinya pandemi virus-virus yang lain atau terjadi wabah-wabah penyakit yang lain? Jika dapat terjadi, apakah dapat diprediksi oleh manusia, masyarakat, atau negara? Jika dapat diprediksi, apa yang dapat diupayakan oleh manusia, masyarakat, atau negara agar siap menghadapi krisis-krisis tersebut? Lantas apa peran sentral pemuda berkaitan dengan hal tersebut?

Kehidupan Penuh Risiko
Kehidupan masa kini—hari ini abad 21—disebut sebagai era kontemporer, dalam istilah lain disebut sebagai post-modernitas, atau dalam istilah Anthony Giddens (sosiolog asal Britania Raya) disebut sebagai modernitas akhir (late modernity). Menurut Giddens, salah satu karakteristik yang khas—bahkan mendasar—dari kehidupan kontemporer adalah risiko.

Dalam KBBI, risiko didefinisikan sebagai akibat yang kurang menyenangkan (merugikan, membahayakan) dari suatu perbuatan atau tindakan. Giddens sendiri mendefinisikan risiko sebagai perbedaan antara kekuatiran mengenai apa yang diperbuat alam terhadap manusia dan kekuatiran mengenai apa yang dapat manusia lakukan terhadap alam (Pip Jones, Liz Bradbury, dan Shaun Le Boutillier, 2016:263).

Bisa dibayangkan bahwa kehidupan kontemporer diwarnai oleh interaksi dan dialektika antara manusia dengan alam. Giddens kemudian mengkategorikan risiko menjadi dua jenis. Pertama, risiko eksternal (external risk). Risiko ini datang dari luar diri manusia atau masyarakat, misalnya dari dinamika dan ketetapan alam. Kedua, risiko buatan (manufactured risk). Risiko ini datang atau terlahir dari perkembangan pengetahuan manusia mengenai dunia dan kehidupan.

Melalui konsep dan kategorisasi yang didalilkan oleh Giddens, bisa diasumsikan bahwa kehidupan manusia akan selalu berhadapan dengan berbagai macam risiko, termasuk risiko keberulangan pandemi COVID-19—entah sebagai gelombang ke berapa, atau risiko terjadinya pandemi-pandemi dari jenis virus-virus atau patogen-patogen lainnya.

Sebuah wabah penyakit dapat digolongkan ke dalam risiko eksternal oleh karena dinamika alam yang memang tidak dapat diprediksi oleh manusia, namun perlu diperhatikan bahwa terdapat kemungkinan sebuah risiko yang awalnya diduga sebagai risiko eksternal ternyata merupakan risiko buatan. Misalnya bencana banjir yang semula dianggap murni disebabkan oleh curah hujan yang tinggi, apabila diperhatikan lebih dalam ternyata manusia juga ikut andil dalam bencana tersebut, di mana aktivitas manusia yang membabat hutan untuk keperluan industri membuat hilangnya daerah resapan air, sehingga daerah tersebut tidak siap ketika datangnya hujan dengan intensitas tinggi.

Wabah penyakit juga punya potensi bekerja dalam proses yang sama seperti bencana banjir. Habitat asli dari mikro-parasit—virus dan patogen—adalah di hutan-hutan lebat atau lautan yang berusia jutaah tahun dan sulit dijangkau oleh manusia, sehingga secara alami mikro-parasit ini berparasit pada hewan-hewan liar yang tingga di hutan atau lautan tersebut (Slavoj Zizek, 2020:iv).

Terjadinya pembabatan hutan (deforestasi) secara masif oleh manusia untuk keperluan industri, baik tambang, pariwisata, maupun perumahan, yang berakibat pada rusaknya ekosistem hutan, membuat mikro-parasit kehilangan habitat aslinya, sehingga mereka mencari habitat baru untuk tetap hidup. Tidak ada pilihan lain bagi mikro-parasit selain masuk dalam ruang hidup manusia. Disinilah mikro-parasit punya potensi untuk memilih manusia sebagai inangnya, karena tidak ada hewan-hewan liar dalam ruang hidup manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun