Catatan sejarah gempa sebenarnya belum menunjukkan bukti adanya gempa sangat besar magnitudo lebih dari 8,5 (megathrust earthquake) pernah terjadi di selatan Pulau Jawa. Hal ini berbeda dengan zona subduksi di barat Pulau Sumatera yang punya catatan sejarah gempa besar seperti itu. Mengenai hal ini juga dituangkan dalam artikel ilmiah "The south of Java earthquake of 1921 September 11: a negative search for a large interplate thrust event at the Java Trench" (Okal, 2012, Geophysical Journal International). Disebutkan bahwa, zona subduksi Jawa tidak memiliki sejarah gempa megathrust pada seluruh era observasi instrumental seismologi.
Ada dua kemungkinan kenapa tidak ada catatan sejarah gempa besar itu. Pertama, bahwa memang zona subduksinya tidak punya potensi gempa besar itu (magnitudo > 8,5). Kemungkinan ini karena faktor usia tumbukan lempeng yang relatif lebih tua dan/atau geometri zona subduksi-nya. Kedua, rentang waktu observasi dalam catatan sejarah gempa kurang panjang; yaitu lebih pendek dari periode ulang atau siklus seismik gempa besar itu sendiri. Artinya, potensi gempa besar itu memang ada dan nyata, dan kita perlu mengantisipasinya. Untuk skenario terburuk, kita pilih kemungkinan ini.
Belum Dipahami
Waspada gempa megathrust adalah istilah atau narasi yang sering diasosiasikan dengan kekhawatiran akan gempa besar (magnitudo > 8,5) di selatan Pulau Jawa. Antisipasi yang digaungkan ini baik sekali untuk mitigasi bencana gempa dan pengurangan resiko bencana. Tetapi, perlu dicatat bahwa riset tentang karakteristik sumber gempa di zona subduksi selatan Pulau Jawa masih sangat minim. Potensi gempa besar itu sebenarnya belum dipahami secara rinci, seperti halnya di zona tektonik di negara lain, misalnya Jepang.
Kompleksitas tektonik dan potensi gempa ini memang sangat perlu dipahami dengan rinci. Artikel ilmiah di jurnal bergengsi Science berjudul "Investigating a tsunamigenic megathrust earthquake in the Japan Trench" (Kodaira dkk., 2021) menunjukkan bagaimana zona subduksi dan potensi gempa di Jepang mulai dipahami dengan sangat baik. Pertama, kita harus memahami potensi gempa di suatu wilayah. Kemudian, kita mengkalkulasi bahaya dan resiko seismik di suatu tempat akibat potensi gempa itu. Perlu dicatat, sering kali bencana geologi terjadi pada level kompleksitas yang tidak terduga, misalnya saat gempa Palu (Sulawesi) dan gempa Lombok tahun 2018 lalu.
Pada beberapa pengalaman, sistem operasional yang ada belum mengakomodir level kompleksitas tertentu. Ini yang menjadi bahan evaluasi untuk lebih meningkatkan performa sistem/teknologi pemantauan dan mitigasi bencana gempa tektonik. Tujuannya, untuk memaksimalkan program pengurangan resiko bencana itu sendiri.
Untuk meningkatkan pemahaman itu, perlu dilakukan riset geologi dan geofisika yang terintegritas dan sistematis. Sebagai perbandingan, di artikel Kodaira dkk. (2021) itu, zona subduksi di Jepang adalah yang sangat masif diteliti dengan berbagai jaringan instrumen observasi seismik, geodetik, dan tsunami. Ada peralatan yang diletakkan di darat, tetapi juga ada peralatan yang diletakkan di laut (offshore). Peralatan lepas pantai ini, walau mahal dan beresiko tinggi, tetapi sangat membantu meningkatkan resolusi pengukuran kebumian secara signifikan.
Sebagai penutup, gempa Banten di awal tahun 2022 ini merupakan pengingat bahwa kita perlu mencermati dan meningkatkan pemahaman tentang potensi gempa di zona subduksi selatan Pulau Jawa. Langkah-langkah konkret untuk meningkatkan pemahaman terhadap potensi gempa itu harus dilakukan dengan dukungan pada peneliti ilmu kebumian. Selain itu, literasi tentang gempa tektonik dan mitigasi bencana geologi harus ditingkatkan. Mitigasi bencana geologi seperti gempa bumi harus diperkuat secara nyata untuk meningkatkan ketahanan bangsa. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H