MH DIMAS ABBADI
Kelas ; HTN 4Â
NIM ;205102030008
Matkul ; Politik hukum
Sabtu,16 Apr 22.00 WIB
Jember - Diskursus demokrasi, pemilu, dan rakyat memang selalu menjadi perbincangan yang renyah bagi kita. Apalagi ketika atmosfer panggung elektoral lima tahunan sudah mulai kental terasa menuju 2024.
Percaturan dinamika politik, angkringan wacana pencalonan, hingga mind mapping pergerakan partai sudah memoles corak politik kita saat ini.
Namun, ada sisa pertanyaan menggantung di sana tentang ihwal yang elementer dan substansial seputar demokrasi, tentang makna ritus pemilu yang kita rayakan dengan pesta secara periodik, atau tentang fantasi bangsa yang menciptakan idealisme bernegara, 'dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat'. Mungkinkah ada nilai sublim kepemiluan dari sekadar percaturan kepentingan elite politik?
Pertanyaan itu mendorong adanya gagasan baru untuk memberikan catatan kritis seputar demokrasi dan kepemiluan kita. Geliat perpolitikan yang tidak sehat, yang potensial merusak mentalitas dan rasionalitas bernegara di masa mendatang, harus diantisipasi dengan argumen dan langkah yang progresif.
Nur Elya Anggraini dalam buku Catatan Orang Dalam (2022) menggambarkan dengan bernas ihwal demokrasi dan kerentanan politisnya dalam pemilu. Namanya juga kontestasi politik, kepentingan untuk menang akan dilakukan. Namun, ada nada harap dari ungkapan penulis selanjutnya yang dianggap dapat meluruskan ulang demokrasi kita. Masalahnya, apakah kekuatan civil society mampu mengawal?
Alasan demikian yang dijadikan sandaran para kaum sofisme di era Yunani Kuno membatalkan sistem demokrasi dalam aktivitas bernegara. Bagi mereka, rumusan kebijakan yang dihasilkan oleh sistem demokrasi hanya merusak tatanan ideal negara. Karena para kaum sofisme melihat banyaknya individu yang tidak bijak dalam menggunakan haknya. Dasarnya bukan akal, melainkan realitas kepentingan (Fuad, 2015: 11).