Mohon tunggu...
Hendi Jo
Hendi Jo Mohon Tunggu... -

Jurnalis lepas yang lahir di Cianjur dan hidup di Jakarta hingga kini

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perjumpaan Terakhir

24 November 2011   02:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:17 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kepada pertemuan senja itu… Aku menyimpan rasa malu Akan tanah airku Yang hari ini hanya mengenal  kekuasaan sebagai nafsu… JAKARTA 1970. Lelaki berwajah lembut itu bergegas memasuki  Wisma Yaso. Begitu ia sampai di sebuah kamar, roman mukanya tiba-tiba berubah. Di atas ranjang tua bersprei putih lusuh, berbaring lemah Sang Pemimpin Besar Revolusi yang sudah terguling itu. Sementara di meja samping tempat tidur, segerombolan ngengat tengah berpesta pora menggerogoti satu sisir pisang yang entah sudah berapa hari ada di sana. Melihat itu, tiba-tiba saja, ia merasakan rasa nyeri yang begitu mendalam di hatinya. Begitu nyeri, hingga kristal-kristal bening tiba-tiba muncul di kedua matanya, seolah menjadi duta bagi perasaannya itu. Tapi ia cepat menguasai diri kembali dan menyapa dalam nada lembut dan hangat: “ Aa No…Apa kabar?”ujarnya sambil tersenyum. Sang Pemimpin Besar Revolusi yang terbuang itu, tiba-tiba membuka matanya yang mulai lamur. “Hatta…Kau di sini?” tanyanya setengah tak percaya. Ia lantas meminta kaca matanya supaya lebih bisa meyakinkan diri akan bayangan akrab yang tengah berdiri di samping tempat tidurnya. Begitu jelas terlihat, tiba-tiba ronakegembiraan muncul, mengusir sejenak kemurungan di wajah tuanya.  “Hoe Gaat het met jou?(Apa kabarnya kau?)” Hatta tak menjawab. Ia masih tersenyum, coba menahan gemuruh seluruh perasaannya. Ia lantas meraih tangan Soekarno, memijitinya dan dan membisikian sesuatu dalam bahasa Belanda: sepertinya doa dan harapan agar ia kuat menghadapi segala cobaan. Kali ini Revolusiener tua itu yang tersenyum, diiringi beberapa butir air mata yang tiba-tiba membasahi pipinya yang mulai berkeriput. Akhirnya Hatta pun luruh.Titik-titik kristal bening itu tak mampu ia bendung. Kepada pertemuan itu, mereka seolah tak berdaya untuk berkata-kata. Dan memang, selama 20 menit berikutnya tak ada suara apapun. Mereka berdua “berbicara” dalam bisu, seolah benak masing-masing tengah berkunjung kembali ke masa lalu, saat mereka bahu membahu mengantarkan kelahiran bayi bernama Indonesia. Beberapa hari kemudian, tepatnya 21 Juni 1970, Hatta mendengar Soekarno telah pergi untuk selamanya. Saat mendengar kabar itu, konon Hatta terdiam lama. Saya yakin, itu adalah sebentuk rasa kesedihan yang luar biasa bagi laki-laki sederhana tersebut. Ya, bagaimana ia bisa melenyapkan Soekarno dari benaknya? Sejak 1932, mereka berdua telah berteman, bahu membahu untuk mewujudkan Indonesia yang bebas dari cengkraman kuku imperialisme. Puncaknya terjadi pada 17 Agustus 1945, ketika atas nama sebuah bangsa baru bernama Indonesia mereka mengumumkan kepada dunia tentang kebebasan dan pernyataan perang terhadap semua yang bernama penjajahan. Tapi Hatta tetaplah Hatta. Ia pemilik prinsip: kawan sejati adalah kawan yang selalu tampil mengingatkan.  Dan pada 1960, Hatta tampil sebagai kawan sejati bagi Soekarno. Dalam sebuah bukunya bertajuk Demokrasi Kita, Hatta mengeritik berbagai langkah politik yang dijalankan Soekarno. Salah satu yang mendapat perhatian Hatta adalah cara penyelenggaraan Demokrasi Terpimpin yang diusung oleh Soekarno sebagai bentuk praktek nyata dari prilaku diktator. ” Tetapi dengan perubahan DPR yang terjadi sekarang , dimana semua anggotanya ditunjuk langsung oleh Presiden maka lenyaplah sisa – sisa demokrasi yang penghabisan. Demokrasi terpimpin Soekarno menjadi suatu diktator...”tulisnya, langsung dan pedas . Soekarno marah. Sikap jujur dan peringatan dari sahabat dekatnya  itu,disalahartikan olehnya. Baginya pernyataan Hatta, hanya menjadi duri bagi perjalanan revolusi yang tengah diusungnya.Ya, Soekarno saat itu memang tengah mabuk revolusi. Beberapa hari setelah keluarnya tulisan itu, Soekarno lantas memerintahkan untuk memberangus penerbitan Demokrasi Kita, sekaligus menyertakan ancaman penjara bagi siapa yang menyimpannya dan membacanya. Provokasi untuk menyingkirkan  Hatta pun bertiup kencang. Suatu hari, dalam suatu peringatan hari kemerdekaan, Ketua Central Commite Partai Komunis Indonesia:Dipa Nusantara Aidit, membaca teks Proklamasi  tanpa menyebut nama Hatta diakhirnya. Berbahagiakah Soekarno? Alih-alih memuji Aidit dan PKI-nya, Soekarno malah meradang. Seperti dikisahkan Guntur, di rumahnya sambil meninju meja makan, ia berkata geram: “Orang boleh benci pada seseorang, orang boleh dendam pada seseorang Boleeeh entah apalagi! Dan kamu tahu? Aku kadang-kadang jedag dengan politiknya Hatta! Aku kadang-kadang saling gebug dengan Hatta!! Tapi… Menghilangkan Hatta dari teks proooklaamaasii, itu perbuatan pengecut!!!”, Hatta tahu, sebagai sahabat, Soekarno tak mungkin tega mencelakakannya. Ia yakin, apapun yang dilakukan Soekarno pada dasarnya adalah untuk kebaikan negeri yang sama-sama mereka dirikan tersebut. Keyakinan itu pula yang ia genggam erat-erat, saat ia melangkahkan kakinya  menuju Wisma Yaso, justru ketika orang-orang yang dulu dekat dengan Si Bung di puncak kekuasaanya seolah raib ditelan bumi atau mereka pura-pura tak pernah mengenalnya. Bukan sekadar menjumpai, Hatta juga memberi seuntai doa.Sentuhan tangannya buat Soekarno adalah sebuah isyarat : bahwa dirinya tak akan pernah meninggalkan Soekarno, tak akan melupakan manusia besar yang sangat dikenalnya itu, hanya karena tulisannya diberangus dan ia diancam masuk penjara. Ia yakin, sebuah perkawanan sejati diantara dua  manusia jauh melebihi segalanya.Bahkan melampau keyakinan-keyakinan ideologis dan kepentingan politik yang nisbi. Ya, pada dasarnya, bisa jadi Hatta tetap percaya dan mencintai Soekarno. Setidaknya itu terlukiskan di tahun 1956, saat ia marah kepada pers Amerika Serikat yang terus menerus menghina sahabat lamanya itu: “Seburuk-buruknya Soekarno…Ia adalah Presiden saya!” (hendijo)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun