Banyak hal yang akan manusia renungkan pada malam dimana hanya ada dirinya sendiri dan Tuhan. Pada gelap yang larut dalam khayal, untuk sekian banyak udara yang telah terhirup dan semua cerita yang telah menjadi jalan lalu. Aku menyadari banyak karena telah disadarkan oleh banyak hal.
Bau tanah selepas hujan yang amat kugemari, tanpa sadar membawaku jauh pada pikiran-pikiran yang sedari tadi ribut di dalam kepala. Ingin dilihat, ingin diingat. Angin tak mau kalah dengan meniupkan rasa enggan, sering sekali menjadi tertekan. Tapi beginilah hukum alam, semakin kau berusaha untuk melupakan itu berarti kau akan terus mengingat.
--―
“Vera!” 4 huruf yang tercetak pada layar handphoneku rasanya seperti nyaris berteriak di depan mukaku.
“Iya kenapa, Ton?” begitu aku membalasnya. Pesan singkat dari sahabatku itu kubalas dengan singkat pula.
“Bagaimana dengan yang aku bilang ke kamu kemarin?”
Pertanyaan itu membuat pikiranku melayang. Teringat kembali beberapa sms dari teman sepermainanku yang entah sudah berapa lama melewati waktu bersama. Namun sepertinya disitulah letak salahnya. Terlalu lama melewati waktu bersama. Disini pulalah awal permasalahannya.
Kubaca kembali satu-persatu sms dari Toni yang menggambarkan sederetan percakapan panjang, beberapa berisi pengakuan dan sebagian lain hampir seperti penyangkalan.
Toni: Sebenarnya sejak lama aku sudah simpan perasaan buat kamu, Cuma baru sekarang aku berani ungkapin ke kamu. Aku sayang sama kamu, Ver!
Aku: Hahaha, aku juga sayang lah sama kamu, Ton. Kan kita memang sudah sahabatan sejak lama. Dari 5 tahun yang lalu kan?
Toni: Tapi aku pikir ini lebih dari sekedar sayang untuk seorang sahabat, Ver.
Aku memikirkan sms itu berhari-hari. Tak tau sebenarnya saat ini aku sedang mengakui atau mengungkiri. Antara takut atau terbawa arus. Ada bagian yang berteriak keras bahwa ini salah dan harus dihindari, ada juga yang terus mendorong untuk berkata ‘ya’. Karena sebenarnya terlalu lama bersama juga membuat perasaan kadang menjadi bertumbuh dengan cara yang berbeda.
Sudah dua hari aku memperdebatkan permasalahn ini pada hati dan logikaku. Walaupun aku tahu mereka kadang berkerja tak selalu berdampingan dan juga sering tak akur tapi kepala ini berpikir terlalu keras untuk berusaha membuat mereka untuk kali ini saja bersatu.
Lalu pada suatu pagi aku menyerah pada perasaanku, memilih mengakui saja. Aku juga cinta, bahwa aku kadang sangat menyukai hal yang sangat ditentang oleh rasa takutku. Kemudian kuambil handphoneku dan mulai menulis pesan singkat yang akan ku kirimkan untuk Toni.
Aku: jujur Ton, aku sebenarnya juga suka sama kamu sudah sejak lama. Aku juga merasa sayang sama kamu lebih dari seorang sahabat yang selama ini mendengarkanmu.
Kutekan tombol send dan menunggu balasan dari Toni. Tak perlu waktu lama sampai pada akhirnya dering handphoneku menggema, tanda bahwa ada pesan baru yang menanti untuk dibaca.
“Makasih banget, Vera. Aku sayang sama kamu, I love you.”
Pada waktu inilah permainan sebenarnya dimulai. Kusebut sebagai sebuah kebahagiaan yang terbungkus. Semua hari kurasa sejuk yang memeluk, tak ada kemarau yang menyeret rasa gerah. Dia adalah alasanku untuk terlalu bersemangat berangkat ke sekolah setiap paginya. Dia juga ,membuat aku merasa cerita yang baru saja kutulis adalah sebuah anugerah yang indah. Dia, dia, dan dia yang kusebut cinta.
Di suatu waktu aku menjadi seperti hilang ingatan, aku lupa bahwa hidup adalah sebuah keseimbangan peristiwa. Kau tahu, dimana ada bahagia maka aka ada luka yang sedari tadi berjalan disampingnya, aku ternyata pura-pura tak menyadari.
Memang diantara kami tak pernah ada kata jadian, dan entah kenapa juga tidak ada satupun diantara kami yang menganggap ini penting.
Tiba-tiba saja berhari-hari aku kehilangan kabar dari Toni. Ini membuat aku seperti hampir gila. Menertawakan diri sendiri setiap aku memandang layar handphone yang masih betah tanpa suara. Tak ada pertemuan di sekolah atau dimanapun. Kepalaku seperti baru saja dibibiti rasa curiga yang berujung nyata.
Malam itu, kubuka twitter hanya untuk menghilangkan jenuh. Ratusan orang terus menerus berkicau di timeline dan ada satu kicauan yang membuat mataku benar-benar terbelalak, kicauan yang memekakan hati meskipun sebenarnya tak ada suara yang terdengar. Ya, itu kicauan Toni.
“Makasih sayang karena sudah mau menerima aku kembali, @dina_ra :) “
Seketika aku seperti orang linglung. Entah bagian mana dari tubuhku terasa benar-benar sesak. Kubaca lagi dan lagi, kemudian semuanya terasa lebih menyakitkan dari semula. Aku berusaha untuk mengabaikan tulisan itu, dia sahabatku. Setidaknya dulu begitu, lalu mengapa bisa berakhir seperti ini. Kenapa tega. Dia yang kuberi lusinan rasa percaya, lalu kenapa bisa. Aku bertanya seharian, dan kenyataan tetaplah tak berubah.
―-
Aku meringis sendiri, apa yang aku ingat barusan sungguh ingin membuat tawaku meledak. Rasanya aku masih bisa tersenyum, mengasihani diri sendiri.
Perlahan mendung mulai tersingkir digantikan bulan hampir penuh. Namun, basahnya tanah masih menyebarkan bau yang akan selalu menjadi favoritku. Sama seperti melakukan kesalahan, seperti telah menjadi kesenanganku tanpa sengaja.
Hembusan angin menembus rongga-rongga pada mantel biru yang kukenakan, juga tanpa sengaja membawaku kembali bermain bersama kenangan. Aku senang membawa diriku terbawa, mengingat apa yang sebenarnya tak ingin aku ingat.
—-
Berminggu-minggu tak ada kata yang terdengar antara Toni dan aku. Tak ada suara, bahkan untuk melihatpun rasanya berat meskipun sebenarnya retina selalu bisa menemukan bayangannya di dalam kerumunan. Pupil mata selalu berubah mengecil tanpa bisa ku cegah saat Toni ada disekitarku, aku selalu bisa menemukannya meski disaat yang bersamaan seperti ada ranting pohon kering yang menusukiku hingga habis tak bersisa. Anehnya, hati sepertinya punya lebih banyak kesabaran hingga masih saja ia mampu merindu. Karena itu, kadang aku juga menghujat cinta macam apa yang telah Tuhan jatuhkan untukku.
Waktu tak mau tahu, ia terus berjalan dan dua bulan pun berlalu. Siang itu sebuah pesan singkat mengambil segala perhatianku. Ya, dari siapa lagi kalau bukan dari Toni. Pesan itu hanya mencetak huruf-huruf yang mengeja namaku. Tapi aku terlanjur berang, kuabaikan saja pesan itu.
Sayangnya pertahananku bukan untuk waktu yang lama. Pada hari ketiga aku menyerah dan memutuskan membalas sms dari Toni. Aku tak bisa mengabaikan Toni, belum bisa. Cerita kembali memulai tulisannya, karena ternyata yang lalu itu hanya diakhiri dengan tanda koma.
Toni: Ver, aku minta maaf walaupun aku tahu aku sulit untuk mendapatkan maaf dari kamu. Tapi tetap Ver, aku minta maaf untuk kemarin, aku ninggalin kamu tanpa kabar. Vera, aku gak bisa lupa sama kamu.
Aku: Udahlah Ton, yang lalu gak usah dibahas lagi. Aku ikut senang kamu bahagaia sama Dina. Aku bukan apa-apa.
Toni: Gak Ver, aku udah putus sama Dina. Ver, perasaanku gak pernah berubah.
Begitulah, cinta dipermainkan oleh manusia sedang aku dipermainkan persaanku sendiri. Perasaan yang membuat aku rasanya selalu bisa memaafkan Toni meski aku telah dibuat hancur menjadi keping kecil. Menganggap kesalahannya hanyalah sebuah ketidaksengajaan. Percaya bahwa dia akan cukup peduIi untuk tidak mengulang kesalahan sama untuk kedua kalinya. Berprinsip bahwa cinta juga berarti selalu bisa memaafkan.
Hubungan tapa status itu terus berlanjut. Tak ada diantara kami yang ingin memperjelas semuanya. Mungkin juga sebenarnya saling menunggu untuk memutuskan.
“Ver, sebenarya aku mau kita pacaran aja.” Toni berucap spontan saat kami sedang tenggelam dalam diam diantara saluran telp, aku kaget tak percaya.
“Tapi Ver, aku mau cari tanggal bagus buat kita.” Kata Toni melanjutkan.
“Hahaha, aku sih terserah kamu aja, Ton. Bisa disini sama kamu aja nyaris terasa cukup buat aku.”
Toni memintaku menunggu hingga pergantian tahun yang hanya tinggal beberapa minggu lagi. kadang aku merasa menggebu-gebu untuk menunggu hari itu. Menunggu bagaimana nantinya hari itu akan terlewati.
Namun, satu mingu sebelum hari itu mimpi burukku terjadi. Toni mengulang apa yang aku takutkan, meghilang tanpa kabar. Keesokannya aku mendengar sayup kabar bahwa dia telah kembali lagi pada Dina. Kali ini hampir terasa seperti mati. Cinta yang kukira paling bahagia ternyata hanyalah kata yang tak tereja sempurna.
—-
Malam semakin larut, begitupun dengan pikiran dan kenangan yang sedang berkerja keras terus mengingat. Kenangan yang memperlihatkan kebodohanku untu jatuh ditempat yang sama berkali-kali karena aku berpikir aku telah belajar pada kesalahan yang ternyata selalu kuabaikan.
Aku banyak merenung setelah kejadian itu, merenungkan banyak. Bahwasanya seberapapun aku cinta itu takkan pernah berarti jika yang kau cintai menolak untuk melihatnya. Aku juga enggan untuk mendedam, karena setelah aku coba melakukannya itu hanya membuat rasanya semakin sakit.
Langit teduh mulai meninabobokan mereka yang bernanung di bawahnya. Aku telah membuat perasaanku ini belajar banyak dengan terjaga pada malam dimana orang-orang terlelap dengan nyanyian deru-deru angin. Bahwasanya memaafkan di kesempatan pertama adalah sebuah kewajaran. Pada kesempatan kedua mungkin kau hanya akan berakhir pada sebuah kebodohan. Lalu bagaimana dengan ketiga? Aku cukup sadar untuk menjaga perasaan berharga yang aku punya. Aku hanya belum tepat saat ini. Bukannya manusia juga melakukan kesalahan untuk tahu apa itu kebenaran.
Rentetan kenangan pahit membuat aku percaya bahwa semua akan selalu berakhir bahagia, jika tidak bahagia maka belum berakhir.
END
Semarang, 22 Juli 2013
03.47 am
Dilla Zhafarina
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H