Mohon tunggu...
Dilla Zhafarina
Dilla Zhafarina Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Aku adalah riak rasa yang tak bersuara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dalam Batas

7 Januari 2014   11:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:04 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tara menengadah pada segala yang ada di atasnya lalu menengok kesegala sisi, meskipun ia sebelumnya telah sadar ia hanya akan disuguhkan pemandangan tegaknya dinding-dinding pucat. Semakin lama, semakin ia merasa jengah. Dinding yang mengelilinginya terasa semakin tinggi saja dan tetap tak mempunyai celah. Tara meringkuk pada pojokan dingin ruangan itu. Ia merasa sedikit ramai dengan segala benda-benda semu disekitarnya. Tara melihat dirinya sendiri menghitam di dinding terbias cahaya bohlam lampu yang redup, nyaris mati. Ia juga melihat kilatan-kilatan drama yang bergerak berganti kisah yang ia tahu ternyata adalah kalaedoskop keinginan yang membuncah di kepalanya. Semuanya semu, hanya dirinya sendiri yang nyata.

Tara masih belum tau mantra apa yang telah menyeretnya pada ruang hampa segalanya seperti ini. Ia hanya bangun seperti biasa, dan yang terjadi tak lagi biasa. Tara terpojok oleh pikirannya sendiri, oleh alasan-alasan yang ia ciptakan sendiri. Menebak apa yang akan terjadi padanya sedetik kemudian. Terlebih lagi ia disuguhkan kilatan kisah yang hanya berupa ribuan khayal di dalam pikirannya

"Hei, kenapa aku bisa di sini? Siapa kalian yang menyeretku ke dalam sunyi gila seperti ini?" teriak Tara, namun yang terdengar hanyalah gema. Suaranya berpantulan kesegala arah.

Tara terdiam karena ia sadar semua suaranya hanya akan kembali pada pendengarannya sendiri. Kesunyiaan menguasai seluruh lini, hanya terdengar desah nafas Tara yag sedikit tak teratur. Bermacam pikiran aneh mulai berdatangan, mengisi kekosongan pikiran. Bahwa mungkin ia akan terpenjara di sini selamanya. Bahwa mungkin juga ia tak akan pernah bertemu dengan orang-orang yang ia sayangi. Mungkin ia akan membusuk disini, sendiri.

Kemudian ia teringat akan apa yang terjadi semalam sebelum mimpi buruk ini berlangsung. Sebuah adu mulut, sebuah rentetan protes yang meledak-ledak membuat api-api kecil menyulut diantara ia dan kedua oang tuanya. Saat itu, suara-suara sudah tak bisa menemukan nada rendah dan api-api tersulut kemudian membesar. Segala sesuatu yang Tara pikir sebagai kekangan telah menjadi bara yang membakar suasana. Lalu seketika sesal menjadi selimut tebal yang menemani ia diruangan sunyi itu.

“Apa memang harus pertemuanku dengan orang tuaku diakhiri dengan membengkaknya urat-urat leher di hadapan mereka?” batin Tara. Tiba-tiba ia merindukan mereka yang pernah ia sebut sebagai tembok-tembok kukuh yang menghalangi ia untuk melihat ke luar tanpa batas.

Dimenit berikutnya tanpa sengaja Tara menangkap suara bisik-bisik memenuhi ruangan itu. Ia kebingungan saat ia tak melihat satupun mulut yang terbuka selain milik dirinya sendiri. Tara jelas saja kebingungan, linglung dan mengira mungkinkah telinganya mulai rusak. Ketakutan mulai menyergap. Ia bertanya-tanya dunia apakah yang sedang ia pijaki saat ini. Menerka-nerka namun taka da satupun yang masuk akal dipikirannya.

“Selamat datang Tara di Dunia ku!” kata sebuah suara tanpa rupa.

Tara terhenyak di tempatnya duduk, bulu romanya terusik secara mendaadak “Siapa kau, kenapa kamu membawa aku ke sini?”

“Benar, kita belum berkenalan ternyata. Aku adalah Hopigan, mereka menjulukiku Si Penangkap keinginan.” Kini suaranya terdengar semakin lantang dan tegas.

“Kenapa kamu membawaku ke sini, kenapa aku ada di sini, di duniamu?” Tara sepertinya habis kesabaran, ingin segera mengetahui segalanya.

“Kenapa? Ternyata kau belum juga sadar. Aku tidak pernah membawa siapapun ke sini, mereka sendiri yang menyeret raganya hingga sampai pada duniaku. Aku selalu ingin menjadi penangkap keinginan yang ramah maka aku menyuguhkannmu tontonan di dinding-dinding penyimpanan ini.” Si Penangkap Keinginan mulai memainkan mainannya pada dinding-dinding disekeliling Tara, memutar segala sesuatu yang pernah terlintas di dalam pikiran Tara.

Wajah Tara semakin panik. Ia tak mengerti apa yang dimaksud Hopigan itu, bahwa ia sendiri yang mengantarkannya ke dunia Si Penangkap Khayal ini. Siapa yang rela membawa dirinya sendiri ke dunia hampa yang sepertinya hanya akan mampu memenjarakannmu dalam penderitaan saja. Lalu, jika memang sebenarnya ia sendiri yang ingin kesini, kenapa ia tak ingat apapun. Tara mulai merasa semakin salah.

“Ternyata berpikir dengan keras pun tak juga membuat kau mengerti, Nak. Jelas saja kau takkan iangat apapun tentang perjalananmu kesini, karena itu adalah lintasan waktu beda dunia. Tumpukan keinginannmu lah yang menjadi kendaraanmu. Keinginanmu telah melewati batas, dan saat itulah kau sampai disini.” Jelas Si Hopigan, masih juga tanpa rupa.

Tara merasa semakin gila, ia seperti sedang berbicara pada dirinya sendiri karena tak ada satupun sosok yang ia ajak bicara dihadapannya. Sedari tadi ia hanya berbicara pada dinding-dinding yang masih menpertontokan kilatan drama tentang khayalan Tara. Terlebih lagi Tara mulai menyadari ternyata Hopigan yang sedang ia ajak berbincang mampu membaca pikirannya.

“Kau bilang keinginanku telah melewati batas, lalu kenapa kalau seperti itu? Bukankah semua manusia boleh berkeinginan apapun sampai ia lelah. Lalu kenapa aku harus berakhir di tempat seperti ini?” kali ini nada suara Tara terdengar seperti menntang,

“Pertanyaan mudah Tara, karena kau tak mampu menerima batas.” Penjelasan singkat Hoigan semakin membuat Tara kebingungan.

“Batas? Kenapa dengan batas? Batas apa sebenarnya yang kau permasalahkan disini?” emosi Tara tersulut. Ia teringat kembali percekcokan dengan orang Tuanya yang ia rasa terlalu mengekang dirinya. Tak boleh ini dan itu, ingat begini dan begitu. Tara mulai merasa semua orang dewasa di dunia manapun adalah sama. Bagi Tara mereka adalah para buruh pembangun sekat.

“Sekat dan batas itu berbeda Tara.”Kata Si Hopigan.

“Ternyata benar, kau bisa membaca pikiranku.” Jawab Tara.

“Ini duniaku Tara, maka aku bisa melakukan apapun di sini termasuk mendengarkan pikiranmu.”

“Baiklah, lalu apa menurutmu perbedaan sekat dan batas?” tampaknya kini Tara mulai melunak, sadar bahwa percuma memberontak.

“Sekat membuat orang terpisah, membuat yang satu tak bisa melihat yang satunya lagi sedang batas hanyalah titik dimana kau hanya perlu istarahat untuk berpikir apakah jalan yang kau lewati ataupun tempat yang kau pijaki adalah benar atau tidak.”

“Jika menurutmu itu perbedaan mereka, maka menurutku mereka itu sama-sama membuat jalan berhenti dan membuatorang-orang tak bisa melihat harapan dan keinginan mereka lagi!”

Kali ini tak ada jawaban untuk beberapa saat, namun bisikan-bisikan yang keluar dari dinding menjadi selingan rusuh diantara percakapan Sang Penangkap Keinginan dan Tara. Tara masih menunggu jawaban, dan menganggap bahwa Hopigan tak mampu menjawab pertanyaannya. Menyimpulkan bahwa pernyataannya adalah sebuah kebenaran

“Begitulah manusia, Tara. Selalu menganggap dirinya adalah sebuah kebenaran yang tak terelakan. Tara, batas tak pernah bertindak seperti yang kau katakan. Batas hanyalah tempat istirahat untuk melihat apakah kamu mampu untuk melangkah lagi atau kau harus beralih pada pintu lain. Batas adalah alat kontrol yang dikendalikan oleh kepalamu sendiri.”

Dugaan Tara salah. Percakapan antara ia dan Si Hopigan belum berakhir “Maksudmu, aku tidak bisa mengendalikan batas dikepalaku sehingga aku sampai pada duniamu?”

“Pikirkanlah lagi, Tara.” Jawab Si Hopigan singkat.

Tara terdiam, ia mengingat lagi bentakan-bentakan yang ia keluarkan dihadapan orang tuanya. Segala tuntutan yang diserang dengan segala kekangan. Ia hanya ingin sedikit kebebasan, tapi orang tuanya menganggap ia ingin lepas kendali. Meskipun didalam hati kecil Tara ia sadar bahwa malam itu ia keterlaluan. Pikirannya penuh dengan kebahagian yang diartikan rumit saat usianya mulai remaja, saat ia merasa dirinya bukan anak kecil lagi. Saat kebahagiaan bukanlah sesederhana pikiran anak kecil.

“Aku hanya ingin sesuatu yang akan bisa membuat diriku bahagia, Hopigan. Aku berkeinginan banyak karena keinginan kecilku tak terkabul hingga tertumpuk. Lalu aku harus bagaimana, Hopigan? Melepaskan semua keingnannku?” tanya Tara dengan suara lemas.

“Tidak Tara, bukan begitu. Hanya saja semua keinginanmu yang tak terkabul tanpa kau sadari tenyata hanyalah sesuatu yang tak kau butuhkan, setidaknya belum kau butuhkan. Semua keinginan itulah yang tertangkap olehku dan terjebak di dinding-dinding duniaku. Keinginan yang melampaui batas keberadaannya.”

“Lalu bagaimana aku bisa tahu apa yang aku butuhkan sehingga aku bisa menuliskannya di daftar keinginanku, Hopigan?”

“Tanpa menuliskannya, kau sudah mendapatkannya. Mereka adalah semua yang tak pernah kau sadari, Tara. Dimulai dari orang tuamu, mereka adalah hal yang tak pernah kau tuliskan tapi kau butuhkan dan dapatkan tanpa kau sadari.”

Tara terdiam, ia mulai menemukan kehampaan tanpa orang tuanya di ruangan asing ini. Di dunia Hopigan “Aku ingin kembali Hopigan, apakah masih bisa? Aku ingin kembali pada mereka.”

“Kau tahu caranya Tara, kurasa kau tahu karena sekarang kau mulai mengerti.” Jelas Hopigan, lalu ruangan itu kembali sunyi seperti awal ia menyadari ia telah berada di sini. Tak ada lagi bisikan-bisikan dari dinding yang berdiri tegak dan tak ada lagi suara Hopigan menggurui.

Tara merenung dan menyadari sudah sejak lama ia tak pernah duduk dan merenung. Memikirkan segala yang telah berlalu dan menyesali sebagiannya. Memikirkan bagaimana seandainya ia telah dapat mencintai batas sebelum ini, mungkin ia takkan sampai pada dunia milik Si Penangkap Keinginan. Mencintai Batas mugkin juga takkan menyulut api antara ia dan kedua orang tuanya. Ia berpikri hingga ia merasa kantuk merasuk pada dirinya.

Tara meringkuk dipinggiran ruangan itu. Perlahan memejamkan mata. Pikiran dan tubuh Tara melayang berpindah dari Dunia milik Hopigan. Berpindah kemana seharusnya ia berada. Keinginan Tara yang membentur batas telah terkurung pada dinding-dinding yang selalu berbisik. Kini hanyalah tersisa Tara dan segala kesadaran akan cinta terhadap batas. Bahwa selama ini orang tunya bukan mengekang, tetapi hanyalah meminta Tara untuk bisa mencintai batas-batas. Batas untuk tahu sampai mana suatu hal itu bisa dianggap benar dan pantas untuk dilanjutkan. Menyadari bahwa batas berarti istirahat bukan berhenti.

END

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun