Di jaman sekarang siapa yang tidak mengenal istilah post-truth. Bahkan menurut BBC, kamus Oxford menetapkan kata post-truth sebagai international word of the year pada tahun 2016 dimana selama tahun tersebut intesitas politik yang terjadi tinggi.Â
Presiden Kamus Oxford, Casper Grathwohl bahkan menambahkan bahwa Post-Truth masih akan menjadi word of the year selama beberapa tahun mendatang. Hal ini dikarenakan pada tahun tersebut percakapan dunia didominasi oleh wacana politik dan diskursus yang dipicu oleh meningkatnya signifikansi media sosial sebagai sumber berita dan dibarengi dengan semakin besarnya ketidakpercayaan terhadap fakta dan data yang disajikan oleh institusi terkait maupun media massa.
 Setelah bertahun-tahun Post-Truth sebagai sebuah konsep pada akhirnya telah menemukan pijakan linguistiknya.
Penggunaan istilah Post-Truth sebenarnya pertama kali digunakan pada bulan Januari tahun 1992 dalam sebuah artikel pada Nation Magazine. Artikel tersebut ditulis oleh seorang penulis keturunan Serbia-Amerika, Steve Tesich.Â
Tesich berusaha menggamabarkan apa yang disebutnya "the Watergate syndrome" dimana semua fakta-fakta buruk yang diungkapkan di masa kepresidenan Richard Nixon malah membuat warga Amerika meremehkan kebenaran sebab itu bukanlah hal nyaman untuk mereka percayai. Ia juga menggunakan kata post-truth sebagai refleksinya atas skandal Iran-Kontra dan Perang Teluk Persia.
 Dalam artikel tersebut ia menuliskan bahwa kita, sebagai manusia yang bebas, telah memutuskan bahwa kita ingin hidup di era post-truth. Kalimat ini merupakan cerminan dari kegeisahan Tesich terhadap perilaku para politisi dan Pemerintah yang sengaja memainkan fakta dan data yang objektif atau bahkan tidak menggunakannya sama sekali demi memanipulasi opini publik.
Post-truth dapat didefinisikan sebagai kata sifat yang berkaitan dengan kondisi atau situasi dimana pengaruh ketertarikan emosional dan kepercayaan pribadi lebih tinggi dibandingkan fakta dan data yang objektif dalam membentuk opini publik.
Pemungutan suara saat Brexit pada 23 Juni 2016 menjadi momen pertama dimana terdapat lonjakan frekuensi penggunaan istilah Post-Truth. Frekeunsi ini semakin menguat lagi pada bulan Juli ketika Donald Trump menjadi nominasi calon presiden Amerika Serikat dari Partai Republik hingga pada momen pemilihan Presiden Amerika Serikat pada 8 November 2016.Â
Hingga saat ini, penggunaan istilah ini belum menunjukkan adanya tanda penurunan frekuensi dan membuat Post-Truth menjadi salah satu istilah yang menentukan di jaman sekarang ini.
Menurut David Patrikarakos, jurnalis berkebangsaan Inggris, era post-truth telah menciptakan post-truth leader mulai dari Vladimir Putin hingga Donald Trump. Mereka menggunakan kelemahan masyarakat untuk dapat mengenali kebenaran demi mencapai kekuasaan.Â
Semakin banyak keraguan terhadap sebuah informasi yang disebarkan di benak orang-orang , maka akan semakin menguatkan kecenderungan mereka untuk menampikkan kebenaran ketika mereka mendengar atau bahkan melihatnya. Tujuannya tidaklah lagi untuk membalikkan fakta seperti yang dilakukan politis di jaman dulu tapi jauh lebih buruk, yakni untuk menumbangkan gagasan atau konsep mengenai eksistensi kebenaran yang objektif.
Fenomena post-truth di Indonesia dapat kita lihat secara gamblang saat ini. Momen menjelang pilpres 2019 telah menjadi momen dimana masyarakat Indonesia merasakan apa yang dirasakan oleh masyarakat Amerika pada tahun 1992 seperti yang dituliskan oleh Steve Tesich.Â
Lalu bagaimana post truth terjadi di Indonesia? Bagaimana fenomena ini mempengaruhi masyarakat Indonesia dan apa dampak buruk dari fenomena ini bagi keutuhan masyarakat? Hal ini akan saya bahas lebih lanjut di tulisan saya berikutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H