" Kejutan. Aku kira aku bermimpi" Dia mengulurkan tangannya.
 " Angin apa yang membawamu kemari ?"
" Angin rindu", aku menjawab asal.
" wow.... Setelah hampir dua puluh lima tahun  ?", aku mengangguk.
" Kemana aza selama ini ?", dia mengajakku kembali duduk lalu ia melipat celana panjangnya dan mencelupkan kedua kakinya sambil mencipratkan air dengan tangannya.
" Selepas lulus SD aku ikut Mina(4) ke Surabaya, sekolah dan kuliah disana. Ketika lulus kuliah aku merantau ke Bali dan bekerja di sana. Â Itulah kenapa hampir selama duapuluh lima tahun aku tidak pernah pulang. Dan kebetulan cuti tahun ini aku memutuskan untuk pulang, melepas rindu dengan kampung kelahiran".
" O, aku pikir kau merindukan aku, karena aku setiap hari kesini menunggu seseorang di masa lalu", ia tertawa dan kedua lesung pipit itu kembali terlihat. " Ingat pantun tentang sungai Kahayan ?".
 Ia menatapku.  Ah, mata teduh itu ? Aku  sangat merindukannya.
" Bukankah itu hanya sebuah pantun  hasil jiplakan dari seorang bocah ingusan yang masih berseragam putih merah ?". Aku balik bertanya.
" Ya, itu hanya pantun jiplakan yang pasaran yang akan di temukan di akhir setiap surat watu itu. Kau tau ? Meskipun hanya pantun jiplakan tapi isinya murni mewakili perasaan".
" Tapi itukan dulu ? Hanya cinta monyet."
" Dulunya memang cinta monyet, tapi kini  monyet kecil itu sudah berevolusi menjadi  Bekantan. Cinta Bekantan itulah julukannya sekarang " Ia tersenyum.
" Ah, kamu ada-ada aza. Â Airnya semakin keruh, ya tidak sebening dulu ", aku mencoba mengalihkan arah pembicaraannya.
" Penambang liar yang marak terjadi dan kebiasaan membuang sampah di sungai membuat sungai semakin kotor. Â Tapi ada satu yang tetap tak berubah", mata teduhnya menatap air sungai yang mengalir.