Mohon tunggu...
Cerpen

Cerpen | Cinta Bekantan

2 Maret 2019   16:41 Diperbarui: 2 Maret 2019   16:41 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bekantan (infotentanghewan.blogspot.com)

Perjalanan darat  empat jam yang melelahkan dari Palangkaraya ke Tewah  baru saja di tempuh.  Ini untuk pertamakali aku menginjakan kakiku di kampung kelahiranku setelah hampir dua puluh lima tahun tidak pulang. Bukan lupa atau sombong, aku hanya tidak punya alasan lagi untuk pulang. Lagipula siapa yang ku datangi ? Kami tidak punya rumah ataupun kebun karet di sini, semua habis di jual. Bue, Tambi (1) ? Mereka semua sudah lebih dulu ke Palangkaraya bahkan sebelum kelahiranku dan kini mereka sudah lama meninggal.

Aku duduk di batang dan mencelupkan kedua kakiku ke sungai Kahayan mencoba bernostalgia dengan masa lalu.  Sungguh sangat berbeda, tak  ada lagi anak-anak yang berenang ataupun terjun dari atas kapal seperti yang dulu sering kami lakukan. Bahkan kapal-kapal pun tak nampak, hanya beberapa jukung(2) yang masih tertambat itupun sudah berlumut, tanda jarang di pakai.  Sejak transportasi air di gantikan transportasi darat sungai ini mulai sekarat. Rumah-rumah di tepi sungai mulai di tinggalkan. Penduduk setempat berbondong-bondong membangun rumah di tepi jalan besar. Jika dulu semua kegiatan masyarakat berpusat di sungai, kini tidak lagi.

 Dulu aku ingat saat mencelupkan tanganku ke sungai ikan Saluang akan berlarian mendekat mereka akan merubungi tanganku, seolah tanganku adalah makanan dan itu membuatku geli. Dulu dari atas batang aku bisa melihat ikan-ikan berkejaran, ya karena dulu sungai Kahayan sangat jernih.  Kini siapa yang peduli dengan sungai yang kotor ini ?


Dulu sepulang sekolah dengan masih memakai seragam putih merah kami langsung berhamburan ke batang berlomba-lomba menceburkan diri ke sungai bahkan tak jarang kami berenang ke seberang tanpa satupun pelampung.
 Kami  hebat bukan ? Setelah puas berenang biasanya kami akan berjemur dulu sampai seragam kami kering. Kami akan pulang begitu melihat Umai(3) dengan muka masam sambil memegang sepotong rotan di tangan, siap mengayunkan rotannya ke punggungku namun itu tak pernah membuatku jera. Besoknya lagi aku pasti kembali. Berulah lagi.

Dulu jika tak ada lauk aku akan pergi sungai membawa tudung nasi yang terbuat dari plastik dan aku akan menempelkannya di ujung-ujung batang dan begitu di angkat keatas beberapa ikan Banta ataupun Udang kecil akan tersangkut di tudung  dan itu membuat aku girang.

Jika air sedang surut pada saat musim kemarau maka di bagian tengah sungai akan tehampar pasir kekuningan bercampur kerikil kami menyebutnya busung .  Setelah lelah berenang kami akan tidur-tiduran di busung bergaya ala turis yang sedang berjemur di pantai Kuta. Kami juga sering berlomba membuat istana pasir di busung.

Dulu saat bermain di sungai seseorang memberikan  sepucuk surat  dengan sebuah pantun yang masih tersimpan di memoriku, seseorang bermata teduh dengan kedua lesung pipit di pipinya. Seseorang yang menghantarkan aku kembali kesini, keinginan yang  sangat kuat yang tiba-tiba muncul setelah bertahun-tahun aku pendam. Jika keberuntungan memihak aku pasti bertemu dengannya dan jika tidak, setidak nya aku sudah mencoba.


 " Sungai Kahayan airnya dingin tempat gadis bermain-main, biar seribu gadis yang lain hanya satu yang ku ingin ." 


Romantis bukan ? Haha....Yang aku tau teman-temanku yang lain pun jika mendapat surat cinta pasti juga akan mendapat pantun yang sama. Karena itu hanyalah pantun  hasil jiplakan. Entah sipa yang membutnya.
 Ah, aku jadi rindu teman-teman masa kecilku. Apa kabar mereka sekarang, ya ?
Dan si pengirim surat, bagaimana rupanya kini ? Sudah menikahkah ? Punya anak berapa, kerja dimana ?  Masih ingat akukah ?
Berpuluh-puluh pertanyaan tiba-tiba bersarang di otakku.

Aku mencuci wajah lelahku dengan air sungai. Segar. Airnya masih dingin meski keruh persis seperti bunyi pantun itu. Tapi sayang tak  ada gadis-gadis yang bermain-main di sini, hanya aku seorang.  Apa aku bukan gadis ? Tentu saja tidak ! Masa gadis itu sudah lama  lewat, kini aku wanita dewasa atau bisa di katakana wanita tua dengan usia yang menginjak hampir empat puluh tahun. Ah, begitu cepat waktu berlalu dan aku sudah setua ini.


" Kaukah itu ?", sebuah suara menyadarkanku dari lamunan. Sontak aku  berdiri. Mata teduh itu, memaksa ku kembali ke masa lalu saat masih berseragam putih merah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun