"Itu benar-benar gila, sobat," kau pun juga gila, hatiku kembali menjerit.
"Ya, aku gila... Gila karena cinta. Kau tau? Aku tak akan pernah bisa hidup tanpanya."
"Tak akan pernah bisa hidup tanpanya? Yakin? Haha... Kau membuatku tertawa, sobat."
"Kenapa kau tertawa, adakah yang lucu?" sahabatku itu pura-pura menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Tentu saja. Kau bilang tak bisa hidup tanpanya? Jadi selama ini kau mati dan setelah bertemu dengannya saja kau baru hidup? Hei, sobat jangan naif begitu. Kau akan tetap hidup, tetap bernafas dan bumi akan tetap berputar walau kau tanpanya. Bukankah selama ini juga begitu?"
Aku tak tau dari mana aku mendapatkan kalimat sok bijak itu? Karena akupun sedang merasakan hal yang sama. Bergumul dengan perasaan yang sama dan berusaha menghambat benih-benih yang mulai tumbuh dengan suburnya pada seseorang yang berstatus kekasih orang juga.
Ah, Tuhan rasa ini benar-benar menyiksa. Aku tahu itu salah, tapi logikaku seolah-olah mati. Mungkin Agnes Monica benar kalau "Cinta ini kadang-kadang tak ada logika."
"Hei, kok diam?" sahabatku kembali berkicau, aku tak terlalu menyimaknya lagi pula hatiku benar-benar kacau.
Ah, andai kau tau sobat aku tak lebih dari seorang munafik yang sedang berusaha menyadarkan diriku sendiri.
Suasana menjadi sepi, tak ada lagi anak-anak yang berlarian semua sudah dibawa orangtuanya untuk kembali ke rumah masing-masing karena mentari sudah lama lengser ke peraduannya.
Kamipun bangkit membawa piring gorengan yang kosong, menghampiri penjual gorengan yang menunggu dengan sabar di sebarang sana tak lupa pula untuk membayarnya, lalu kami, aku dan dan sahabatku, berpisah dalam bisu.