Saat sedang asyik menikmati sepiring gorengan ditemani segelas es teh manis dia datang menghampiriku. Mencomot gorengan dan mengunyahnya tanpa ekspresi.
Anak-anak berlarian di tepi pantai, sesekali melempar kerikil ke sungai Kahayan yang keruh benar-benar masa kecil yang menyenangkan. Tertawa lepas tanpa beban.
Ah, andai aku bisa seperti mereka dan lihatlah di sana beberapa pasang remaja sedang asik bercengkrama tanpa peduli sekitarnya, benar-benar membuat iri.
Jembatan Kahayan memang selalu mempesona, seakan ada magnet yang menarik para pengunjung untuk menikmati sore di tempat ini, maka tak heran ada begitu banyak cafe-cafe tenda yang menyediakan berbagai makanan di sini. Ya, ini adalah tempat favoritku tatkala gundah melanda.
Setelah beberapa saat terdiam dia mulai berkisah tentang kisah cintanya, yang entah sudah berapa kali dia mengisahkannya. Terkadang aku jenuh mendengarnya, tapi sebagai sahabat yang baik aku harus tetap mendengarkannya.
"Aku mencintainya, sangat mencintainya," dia memulai lagi kisahnya.
"Tapi kau tau kan, dia sudah punya kekasih?"
"Aku tau, tapi aku... Tapi aku tetap tak peduli. Karena aku sangat mencintainya, kamu tau itukan?" ia menatapku dengan wajah memelas.
"Hmm...bukankah sudah berulang kali kukatakan kalau itu bukanlah cinta? Itu adalah kebodohan!"
 Aku merasakan perih di hatiku mendengar kalimat yang baru saja kuucapkan itu. Aku juga bodoh sama sepertimu sobat hatiku berbisik nyeri.
"Kau tak merasa apa yang ku rasakan," wajahnya sumringah, senyumnya mengembang setengah berteriak ia melanjutkannya, "Dia membuat hidupku berwarna mengusir kelam yang selama ini bersarang di hidupku. Aku bahagia meski hanya jadi Sephianya. Kau taukan, aku tak pernah benar-benar merasa sebahagia ini."