Hari ini matahari terlalu kejam menyengat kulitku, Pras.
Jalan berdebu yang kutempuh hari ini terlampau panjang.
Seolah tak menemui titik ujung.
Mesin meraung dan polusi mengudara dari knalpot kendaraan yang sedari tadi secara terpaksa harus merangkak lolos dari ranjau kemacetan.
Dengan kepala sedikit berdenyut kurelakan aroma sitrus dari parfumku dilahab habis oleh si asap knalpot.
Beginilah Pras, yang terjadi pada diri merana ini di kilometer 17.
Pras, kataku ini tak adil.
Atau memang aku yang egois.
Terus menerus menuntut temu untuk sebuah rindu yang tak halal.
Apakah hanya aku, Pras...yang merasa rindu ini perlu dilegalisasi.
Atau hanya aku kah yang memiliki rasa untuk segera termiliki?
Sadis Pram, kukata.
Di kota nan jauh di sana kau ibarat burung yang bebas mengepakkan sayap.
Sementara aku bagai burung yang terkurung dalam sangkar milik seorang anak kecil.
Bagai burung yang memimpikan kebebasan mengepakkan sayap dan angkasa luas.
Ah, kau curang Pras!
Aku menuntut temu sementara kau hanya menaruh harapan tanpa temu.
Apakah kau tahu, Pras?
Betapa hati berkecamuk ketika terabaikan.
Apa kau tahu, betapa pilu hati ini terasa ketika membayangkan aku kau tinggalkan.
Pras...masih tentang Pras dan mungkin akan selalu tentang Pras.
Kau menjanjikan titik temu di nol kilometer .
Bisakah kupercaya?
*Kudus, 21 Sep 2018
#puisi #prosaindonesia #literasi #catatanpena #
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI